SELAMAT DATANG SAHABAT

SELAMAT DATANG SAHABAT

Anda adalah pengunjung yang ke .....

Counter

video denmas

Senin, 19 November 2007

Rabb

Rabb
Dahulu, saat awal penciptaanku, aku takut turun ke bumi. Aku takut sendiri. Tapi Kau menjanjikan aku, bahwa di bumi nanti, akan ada malaikat yang selalu menjagaku dengan kelembutan dekapannya, bahkan sampai rela mengorbankan jiwanya.


Dahulu, aku takut turun ke bumi. Aku khawatir bahwa bumi tak seindah surga. Tapi, Allah menjanjikan aku, bahwa di bumi nanti, akan ada malaikat yang mengajakku menikmati indahnya dunia dengan iman.

Dahulu, aku takut turun ke bumi. Aku takut tidak bisa berjumpa denganMu lagi. Tapi Allah menjanjikanku, bahwa nanti di bumi, akan ada malaikat yang membimbingku tuk mengenal Islam.

Duhai jiwa, terkenanglah kembali sosok malaikat itu. Ibu...

Lahirku ke dunia, berhutang darah dan nyawa pada ibuku. Perjuangan yang melalui garis batas antara hidup dan mati. Pengorbanan yang bukan dilakukan oleh pria yang gagah-perkasa, tapi oleh wanita dengan segala kelemahannya.

Ibu, maafkan aku...

Lahirku ke dunia, belum mengenal rintihan sakit yang kau derita. Lahirku ke dunia, belum mengenal hebatnya perdarahan yang kau alami. Dan lahirku di dunia pun, belum mengenal perih yang kau rasa.

Ibu, maafkan aku...

Kecilku dulu, aku belum mengenal kantukmu yang terbangun karena tangisanku. Pun aku belum mengenal lelahmu merawat dan membesarkanku. Ya, aku masih belum mengenal air mata yang selalu mengalir tiap saat kau mendo'akanku.

Ibu, maafkan aku...

Saat ku mulai bersekolah, aku masih saja belum menyadari bahwa kenakalanku cukup menguras kesabaranmu. Kejengkelan hatiku saat kanak-kanak dahulu, pernah berbuah bentakan padamu. Ibu, aku belum menyadari bahwa hatimu terluka, teriris perih, tapi kau tetap membelaiku lembut tanpa ada beda dari sebelumnya. Kontras dengan kerasnya intonasi ucapanku saat itu padamu.

Ibu, maafkan aku...

Remajaku dulu, aku masih belum mengenal bahasa penjagaanmu padaku. Kau larang aku pergi malam, kau menyuruhku tuk tetap tinggal, menemanimu yang tengah sendiri di rumah. Tapi aku lebih memilih keceriaan bersama teman. Aku lebih memilih kebersamaan bersama mereka.

Duhai Ibu, sekali lagi, maafkan anakmu, aku belum mengerti betapa berharganya kehadiranmu dalam segmen-segmen hidupku.

***

Mendungnya kota Pontianak sore ini, mengajak hatiku tuk merindu. Kelembutan awan kali ini, mengingatkanku akan kelembutan kasih sayang ibu. Keteduhan langit kali ini, membawaku teringat kembali akan keteduhan sorot mata ibu. Dingin yang kurasa ini, mengingatkanku akan hangatnya pelukan ibu.

Rabb, aku tak ingin mengenalnya kala ia telah tiada. Dewasaku kini, tak ingin terlambat mengenalnya. Aku tak ingin terlambat lagi memahami kasih sayang, pengorbanan, dan ketulusannya.


Ibu...

Jagalah ia selalu, Rabb. Cintailah ia melebihi cintanya padaku. Hadirkan selalu keridhaanMu, sebagaimana ia selalu menghadirkan kebahagiaan dalam relung jiwaku. Tuntunlah ia menapaki jalan syurgaMu, sebagaimana ia selalu menuntunku tuk semakin mengenalMu. Dan baikkanlah akhir hayatnya, Rabb, melebihi baiknya kemuliaan akhlak yang ia ajarkan padaku.

Gaji Papa Berapa?

Untuk para orangtua yang selalu sibuk, mungkin bisa jadi renungan...
Untuk para calon orangtua, mungkin bisa dijadikan sebagai pegangan..


Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di
Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah,
putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.
Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil mencium anaknya.

Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika
ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, "Aku
nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"

"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat.

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan
dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu
dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu
bulan berapa, hayo ?"

Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara
Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak
menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya. "Kalo satu
hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji
Rp.

40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Andrew

Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,
Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini
? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".

"Tapi Papa..."

Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan
Sarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di
kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang
terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata,
"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang
malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.
5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau
sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga
puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga.
Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,-
tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam
aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp. 5.000,-
makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.

Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata.
Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru
menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup
untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

Ibu

Ibu

Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya.
Kini giliran
diciptakan para ibu. Seorang malaikat menghampiri
Tuhan dan berkata
lembut: "Tuhan, banyak nian waktu yg Tuhan habiskan
untuk menciptakan
ibu ini?" dan Tuhan menjawab pelan: "Tidakkah kau
lihat perincian yang
harus dikerjakan?
01) Ibu ini harus waterproof (tahan air / cuci) tapi bukan dari plastik.
02) Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai
03) Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya untuk mencukupi          kebutuhan anak-anaknya
04) Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan anak-anaknya
05) Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukan hati anaknya.
06) Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan
07) Enam pasang tangan!! --- Malaikat itu menggeleng-gelengkan kepalanya "Enam pasang         tangan....? tsk tsk tsk" ---
        "Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan Saya, melainkan tangan yang melayani sana
        sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik...." balas Tuhan.
08) Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang ibu.
       "Bagaimana modelnya?" Malaikat semakin heran. Tuhan mengangguk- angguk.
       "Sepasang mata yang dapat menembus pintu yang     tertutup rapat dan bertanya:
       "Apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?", padahal sepasang mata itu sudah          mengetahui jawabannya. "Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang          kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, ia dapat melihat          apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut          seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu harus bisa bicara! Mata itu harus          berkata:
         "Saya mengerti dan saya sayang padamu"Meskipun tidak diucapkan sepatah kata pun.
         "Tuhan", kata malaikat itu lagi,"Istirahatlah"
         "Saya tidak dapat, Saya sudah hampir selesai"
09) Ia harus bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit.
10) Ia harus bisa memberi makan 6 orang dengan satu setengah ons daging.
11) Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahun mandi pada saat anak itu tidak ingin mandi....

Akhirnya Malaikat membalik balikkan contoh Ibu dengan perlahan.
"Terlalu lunak", katanya memberi komentar."Tapi kuat", kata Tuhan bersemangat.
"Tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung, pikul dan derita. "Apakah ia   dapat berpikir?" tanya malaikat lagi.
 "Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi" , kata    Sang Pencipta.
Akhirnya Malaikat menyentuh sesuatu dipipi. "Eh, ada kebocoran disini"
"Itu bukan kebocoran", kata Tuhan. "Itu adalah air mata.... air mata kesenangan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata kesepian, air mata kebanggaan,
airmata...., airmata.. .."

Akhirnya Malaikat berkata pelan pada pembaca..... ....:
" JIKA KAMU MENCINTAI IBU MU KIRIMLAH CERITA INI
KEPADA ORANG LAIN,
AGAR SELURUH ORANG DI DUNIA INI DAPAT MENGHORMATI,
MENCINTAI &
MENYAYANGI IBUNYA"

Minggu, 18 November 2007

Naik-turun...

Naik-turun...


- Betapa senang hati Jon Koplo dan Tom Gembus ketika diterima sebagai mahasiswa baru di sebuah universitas markotop di Surakarta. Namun masalah mulai muncul ketika masuk kuliah pertama.
Ndilalah ruang kuliahnya ada di lantai tiga, sehingga untuk menuju ke sana harus melalui lift. Padahal sak jeg jumleg yang namanya lift mereka belum pernah srawung. Celakanya lagi, untuk bertanya ke orang lain mereka gengsi, takut dikira wong ndesa.
”Tenang wae Mbus. Nanti kalau ada orang masuk, kita ikut saja,” siasat Koplo.
Bener saja, tak lama kemudian ada orang masuk lift. Jon Koplo dan Tom Gembus langsung nginthil di belakangnya. Berlagak sopan, Koplo mempersilakan orang tadi untuk menekan tombol mesin jalan. Ketika orang tadi keluar, Koplo dan Gembus sebenarnya mau ikut keluar tapi ragu sampai di lantai berapa. Mau tanya ke orang tadi, mereka gengsi.
Sekarang giliran seorang cewek masuk. Seperti sebelumnya, dengan menggunakan bahasa isyarat tangan mereka mempersilakan cewek tadi menjalankan lift. Beberapa saat kemudian ketika pintu lift dibuka, mereka malah kaget. ”Lho Plo, ini kan lantai dasar yang tadi?” Gembus heran.
Sementara di depan pintu lift beberapa orang sudah antre akan naik. Koplo dan Gembus pun melanjutkan rencananya untuk naik ke lantai tiga. Ketika orang-orang keluar Koplo dan Gembus ikut keluar. Kali ini mereka memberanikan diri bertanya kepada seseorang yang ada di lantai tersebut. Ternyata lantai yang mereka ambah adalah lantai empat. Mereka pun segera masuk ke lift lagi. Dan ketika pintu terbuka, we lhadalah, lagi-lagi mereka kembali ke lantai dasar lagi. Jengkel campur judheg, Koplo dan Gembus keluar dari lift tersebut.
”Kesel aku Mbus. Wis-lah, ora sah kuliah dina iki. Paling-paling ya wis telat,” keluh Koplo.
Tiba-tiba seorang Satpam datang menghampiri mereka. ”Eh, Mas, sampean berdua ini mau ke mana? Dari tadi saya perhatikan kok naik turun lift?” tanya Satpam tersebut.
”Ohhh... Anu kok Pak, tadi kami mau kuliah ke lantai tiga, tapi katanya kosong, jadi ya turun lagi. Lha sampai di sini ternyata saya di-SMS teman, katanya kuliahnya pindah di lantai empat. Setelah kami ke sana, eee ternyata sepi tidak ada orang. Ya terus kami turun lagi,” terang Jon Koplo beralasan. Gembus pun menimpali, ”Iya Pak, he-he-he... sekarang kami mau pulang dulu... Mari, Pak...!”
Keduanya pun segera angkat kaki meninggalkan Pak Satpam yang masih gedhek-gedhek penuh tanda tanya.

Gembusnya ada 2

Gembusnya ada 2


- Omong-omong soal salah sambung, bukan hanya Jon Koplo yang mengalami, seperti lakon Ah Tenane kemarin. Kejadian itu juga menimpa Lady Cempluk, seorang reporter magang yang bekerja di sebuah penerbitan di Solo.
Alkisah, beberapa waktu lalu Keraton Surakarta Hadiningrat kesripahan kerbau piaraannya yang bernama Kyai Slamet.
Oleh redaktur yang mengampu halaman Kota di koran tersebut, Cempluk ditugaskan untuk meliputnya. Ia diminta untuk konfirmasi dengan pihak keraton perihal kematian kerbau yang dianggap keramat tersebut.
”Pluk, coba kamu hubungi kerabat keraton yang namanya Bapak Tom Gembus,” perintah redakturnya melalui HP.
Namanya saja reporter magang, masih semangat-semangatnya bekerja, Lady Cempluk pun cuma nggah-nggih-nggah-nggih saja. Sebelum meliput ke keraton, Cempluk berinisiatif ngebel dulu ke Pak Gembus. Cuma sayangnya, Cempluk belum tahu nomor teleponnya. Makanya ia minta informasi kepada Gendhuk Nicole, rekan senegaranya.
Nah, di sinilah letak kelucuan itu terjadi. Ternyata oh ternyata, nama ”Gembus” yang diinformasikan Gendhuk Nicole itu bukannya Tom Gembus kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, melainkan Jon Gembus pejabat Dinas Pasar Surakarta. Memang kebetulan nama beliau-beliau itu nyaris sama.
”Selamat siang, Pak. Apa benar saya bicara dengan Bapak Gembus?” tanya Cempluk melalui telepon.
”Ya, saya sendiri Pak Gembus. Ini siapa?” Pak Gembus balik tanya.
”Saya Lady Cempluk Pak. Cuma mau konfirmasi saja Pak, apa betul kerbau milik Bapak baru saja meninggal?” tanya Cempluk.
”Apa? Kerbau? Kerbau yang mana? Saya tidak punya kerbau kok,” elak Pak Gembus.
Kurang puas dengan jawaban Pak Gembus, Cempluk pun masih ngoyak, ”Maaf Pak, Bapak tidak sedang bercanda kan? Saya baru saja mendapat informasi, bahwa kerbau Kyai Slamet milik Bapak baru saja meninggal. Betul begitu?”
”Lho, kalau soal itu kenapa tidak tanya ke pihak keraton saja? Adik tidak sedang bercanda kan?” balas Pak Gembus.
Sampai di sini Lady Cempluk mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
”Maaf Pak, apa betul saya ini bicara dengan Pak Tom Gembus, kerabat Keraton Kasunanan Surakarta?” Cempluk meyakinkan.
”Oooh, salah sambung Dik. Saya Jon Gembus, Dinas Pasar Surakarta, bukan kerabat keraton,” jawab Pak Gembus sambil tertawa.
Mak dheg! Lady Cempluk baru ngeh kalau tadi rupanya salah sambung. Sembari minta maaf, Cempluk menutup telepon dengan perasaan malu yang nggak ketulungan.

Salah nyambung

Salah nyambung


- Ini adalah pelajaran bagi Jon Koplo dan ”Jon Koplo-Jon Koplo” lain untuk lebih berhati-hati dan tidak srogal-srogol dalam berbicara lewat telepon, apa lagi belum jelas siapa lawan bicaranya.
Peristiwa ngguyokke ini dilakoni oleh Jon Koplo, seorang pedagang makanan yang mangkal di depan kantor sebuah instansi swasta di sebelah barat perempatan Gendengan, Jl Slamet Riyadi Solo.
Seperti biasa, siang itu dagangan Koplo lumayan laris karena para karyawan kantor pada nongkrong di situ. Ada yang makan, ada yang minum-minum sambil ngemil, bahkan ada pula yang sekadar ngobrol sambil udat-udut. Jon Koplo ditemani isterinya, Lady Cempluk, tampak sibuk melayani pembeli.
Tiba-tiba seorang Satpam kantor di dekat tempat berjualan itu bengak-bengok sambil keplok-keplok memanggilnya.
”Pak Jon... Saking Pak Gembus,” kata Pak Satpam sambil memberikan gagang telepon kepada Jon Koplo.
Teringat anaknya yang bekerja di Jakarta, Koplo pun nyaut gagang telepon dan langsung bicara banter biyanget, ”Halo Mbus... Ngapa Le? Iki Bapak! Piye kabarmu? Kok suwe ora ngirim kabar? Cah-cah rak ya dha ora papa ta... bla... bla... bla...” Koplo ngecuprus tanpa spasi.
Melihat tingkah Koplo yang serius tapi ngguyokke itu, Pak Satpam langsung njawil sambil memberi tahu, ”Pak, sing tilpun niki sanes Gembus anak sampeyan sing teng Jakarta, ning Pak Tom Gembus, Bapak Pimpinan Perusahaan!”
Mak tratap, Koplo baru menyadari kepada siapa ia bicara. Sambil ketakutan campur kisinan, ia segera minta maaf berkali-kali kepada Pak Tom Gembus, bos kantor situ yang ternyata hanya akan pesan minum melalui interkom yang ada di Pos Satpam, dekat tempat Koplo berjualan. Karuan saja kelakuannya itu jadi bahan tertawaan orang-orang yang ada di situ termasuk Pak Satpam yang ngekek ra entek-entek. -

Kok mumbul...?

Kok mumbul...?


Yang namanya sinoman, tentu butuh kekompakan antara laki-laki yang bertugas sebagai pengantar makanan dan perempuan yang menyajikannya kepada para tamu. Namun tidak demikian halnya dengan Jon Koplo dan Lady Cempluk yang sedang nyinom di sebuah hajatan di daerah Sukoharjo paling selatan yang berbatasan dengan Wonogiri ini.
Seperti biasa, setiap ada orang yang punya gawe, para pemuda desa didhapuk jadi sinoman alias pengantar sekaligus penyaji makanan. Kebetulan dalam rewangan kali itu Jon Koplo berpasangan dengan Lady Cempluk. Koplo membawa makanan yang ditaruh di sebuah nampan kayu yang cukup besar, sementara Cempluk yang nanti harus menyajikan kepada para tamu. Suguhan sesi pertama berupa wedang dan snack berlangsung dengan lancar-lancar saja. Namun masalah muncul ketika makan besar keluar.
Saat itu Jon Koplo sedang berada di belakang untuk mengambil jatah makanan yang harus diantarkan, sementara Lady Cempluk sudah siap berdiri nggejejer di samping para tamu. Ndilalah-nya, beberapa tamu yang ada di sampingnya itu adalah teman-temannya. Maka sambil menunggu Jon Koplo, Cempluk pun terlibat jagongan heboh dengan tamu-tamu itu. Saking asyiknya ngecuprus dengan para tamu itulah Cempluk sampai lupa dengan tugasnya, padahal saat itu Jon Koplo sudah berada di dekatnya sambil membawa nampan berisi nasi sak cething-nya lengkap dengan piring sekaligus lawuh-nya.
Berkali-kali Koplo memanggil, namun Cempluk tidak ngrewes babar blas. Untung ada salah satu among tamu yang njawil Cempluk, ”Mbak, kuwi lho! Mesakake Mas Koplo, selak kabotan!”
Mak jegagik, Cempluk baru sadar kalau ia lagi tugas. Cempluk pun buru-buru mendekati Koplo untuk mengambil makanan yang ada di nampan. Namun entah saking semlengeren-nya membawa nampan yang super berat itu , Koplo tidak nggagas kalau isi nampannya diambil Cempluk. Ndilalah yang diambil dulu kok ya nasinya. Itu pun tidak ngomong sama Koplo. Akibatnya, mak wuuuttt... nampan yang dipegang KOplo mumbul karena jadi ringan mendadak. Piring sak lawuh-nya yang masih ada di nampan itu pun jadi tumpah semua.
Semua yang ada di situ langsung bergegas membantu Koplo, kecuali Lady Cempluk yang kamitenggengen masih berdiri terpana...

Bahasa Jawa sebagai aset budaya daerah

Bahasa Jawa sebagai aset budaya daerah


- Kondisi bahasa-bahasa daerah di Indonesia sebagai bagian dari budaya daerah nusantara sekarang ini semakin terdesak oleh perkembangan zaman dan teknologi informasi. Tidak kalah penting yang perlu perhatian khusus, terutama pada tataran golongan muda.
Namun dengan munculnya kebijakan Gubernur Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur untuk memasukkan bahasa Jawa dalam mutan lokal pada pendidikan SD, SMP, dan SMA menjadi angin segar bagi bahasa Jawa khususnya untuk berkembang.
Sekarang tergantung kita, mau diapakan,dan bagaimana cara mengajarkan, menanamkan, dan mengembangkan filosofi bahasa daerah kepada anak didik kita sebagai generasi penerus, sehingga eksistensi bahasa daerah dalam kerangka budaya di era teknologi informasi tetap maju dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa, kita memiliki dua landasan yang fundamental. Pertama, ikrar butir ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahwa “Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dengan kategori “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, terkandung makna bahwa bahasa daerah termasuk bahasa Jawa memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Kedua, penjelasan Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik misalnya (bahasa Jawa, Sunda, Madura, dll), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.
Sesuai dengan landasan tersebut, bahasa Jawa sebagai bahasa daerah di Indonesia yang terbanyak penuturnya memiliki hak sepenuhnya untuk dihormati dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu, perlu dipikirkan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa di era teknologi dan informasi yang semakin memprihatinkan perkembangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah; siapa yang bertanggung jawab melestarikan eksistensi bahasa dan budaya daerah kita? Guru bahasa daerah, pemerintah daerah, atau orangtua? Jawabnya tentu saja tidak boleh saling tunjuk satu dengan yang lain tetapi bagaimana upaya kita secara bergotong-royong untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah untuk generasi penerus dan mempersiapkan SDM yang profesional dalam bidang bahasa dan budaya daerah.
Eksistensi bahasa daerah
Kedudukan bahasa Jawa bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan bahasa pertama. Pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa bahasa Jawa masih merupakan alat komunikasi yang efektif di lingkungan keluarga bahkan di masyarakat luas.
Perlu disadari bahwa frekuensi pemakaian bahasa Indonesia yang makin tinggi di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan menjangkau wilayah pemakaian bahasa semakin luas, mengakibatkan wilayah pemakaian bahasa Jawa semakin berkurang. Pertemuan yang dulu menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa berangsur-angsur beralih dengan pengantar bahasa Indonesia.
Bahasa Jawa saat ini juga semakin “dijauhi” oleh generasi muda. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa Jawa, dalam lingkungan yang menghendaki penggunaan bahasa Jawa krama mereka tidak semuanya dapat melakukan dengan baik.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa mereka menjadi seperti itu. Di lingkungan keluarga sendiri mereka tidak biasa menggunakan bahasa Jawa dengan benar, di sekolah mereka hanya mendapat pelajaran bahasa Jawa yang terbatas, dalam masyarakat luas mereka melihat kenyataan bahwa bahasa Jawa tidak lagi digunakan dalam aspek kehidupan masyarakat Jawa.
Seidentifikasi
Dilihat dari kosakatanya, bahasa Jawa telah mengalami perkembangan yang pesat. Banyak kata baru yang masuk dalam bahasa Jawa, baik yang berasal dari bahasa Indonesia maupun yang berasal dari bahasa lainnya. Masuknya kata baru seperti itu merupakan hal yang wajar dalam bahasa yang masih hidup seperti bahasa Jawa. Merupakan hal yang aneh bila terdapat sebuah bahasa yang kosakatanya tidak bertambah sama sekali dari waktu ke waktu, kecuali bahasa yang sudah mati. Namun, pemekaran kosakata bahasa Jawa yang cepat telah menimbulkan keprihatinan bagi mereka yang berpegang pada keinginan akan kemurnian bahasa Jawa.
Masyarakat penutur bahasa Jawa adalah masyarakat dwibahasawan, yang dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia secara bergantian atau bersamaan. Kondisi itu memberikan kemungkinan yang besar terhadap masuknya kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan sebaliknya. Hal itu didukung oleh besarnya peranan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Media massa yang menggunakan bahasa Indonesia pun lebih mudah dan lebih menjangkau seluruh lapisan masyarakat penutur bahasa Jawa daripada media massa yang menggunakan bahasa Jawa, sehingga sangat mudah dipahami apabila dalam bahasa Jawa banyak terlihat kata yang bersal dari bahasa Indonesia.
Masuknya kata-kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa menjadi semakin terbuka. Bahasa Indonesia sendiri sebagai bahasa pemberi mengalami pemasukan kata dari bahasa asing.
Kata-kata asing yang menjadi kosakata bahasa Indonesia itu sebagian terserap ke dalam bahasa Jawa. Semuanya akan memperkaya kosakata bahasa Jawa. Sebagian dari kata-kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam bahasa Jawa semakin mantap penggunaannya dan justru dapat menggeser pemakaian beberapa kata bahasa Jawa sendiri.
Misalnya, kata pendidikan, penduduk, keluarga, hadiah, dan pemenang. Kata-kata seperti itu sulit atau tidak selalu dapat digantikan oleh kata-kata bahasa Jawa yang sudah ada. Kata-kata lain yang berasal dari bahasa asing pun mengalami hal seperti itu. Misalnya, kata transmigrasi, imunisasi, donor, target, dan kredit. Kata-kata semacam itu memang sulit digantikan oleh kata bahasa Jawa dan ada pula yang tidak perlu diganti atau diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Uraian di atas memberikan gambaran tentang betapa mudah dan pesatnya pemekaran kosakata bahasa Jawa saat ini dengan cara penyerapan. Akibat penyerapan kata itu, bahasa Jawa dalam bidang kosakata akan menemukan wajahnya yang selalu bergerak dari waktu ke waktu, sehingga keberadaan bahasa Jawa sebagai bahasa yang masih terikat oleh budaya Jawa, dihadapkan kepada kenyataan yang menantang masa depannya.

Tenang, jangan bentak anak

Tenang, jangan bentak anak


Anak bertengkar itu sudah biasa. Orangtua perlu bersikap bijak dalam menghadapi situasi itu. Anak bisa bertengkar dengan saudara kandung atau teman sebaya saat sedang asyik-asyiknya bermain.
Jika menemui anak sedang bertengkar dengan teman sebayanya orangtua sebaiknya tidak langsung bereaksi, karena bisa berakibat emosi orangtua ikut muncul.
”Jika orangtua mengetahui anaknya sedang bertengkar, tanya dulu apa permasalahannya dengan sikap tenang. Anak biasanya masih jujur dan mau bercerita kejadian sebenarnya. Sebaiknya sejak awal orangtua sudah mengantisipasi kalau anak kecil biasa bertengkar sehingga saat menemui anaknya bertengkar orangtua tidak emosi,” kata psikolog Hj Kris Pudjiatni Psi.
Kris yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) ini mengatakan pada usia dini berikan kebebasan bagi anak untuk belajar dengan lingkungan. ”Kalau anak kita salah, beritahu dia kalau apa yang dia lakukan salah dan suruh minta maaf pada temannya. Yang terpenting tindakan tersebut tidak lagi diulangi oleh anak,” ungkap Kris.
Demikian juga kalau ternyata yang salah itu temannya, anak diberitahu agar tidak melakukan apa yang dilakukan temannya itu, sambungnya.
Lebih lanjut, Kris menuturkan, selama ini masih ada perilaku yang salah dari orangtua, saat menemui anak bertengkar langsung dibentak, dimarahi dan disalahkan. ”Padahal perilaku membentak, marah-marah dan langsung menyalahkan ini akan direkam dalam benak anak dan mungkin cara itu akan dimunculkan anak saat menghadapi permasalahan berikutnya. Bisa juga cara itu akan dipakai anak saat anak dewasa kelak,” tandas Kris.
Jika perilaku yang salah ini terekam oleh anak, sambungnya, orangtua harus peka dan segera melakukan introspeksi agar tindakannya yang salah tidak dilakukan lagi. ”Namun kadang-kadang anak bisa juga melakukan pertengkaran sampai berantem karena ingin membela diri karena mungkin ada temannya yang usil atau nakal. Pantau jangan sampai tindakan anak membahayakan diri mereka,” ujarnya.
Menurut Kris, pertengkaran yang terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh hal sepele seperti berebut mainan atau tidak mau berbagi. ”Oleh karena itu sebaiknya anak dibekali dari rumah dengan sikap saling yang positif, seperti saling menghargai, saling menghargai dan saling memberikan kesempatan pada teman yang lain,” katanya. Jika sikap saling ini mulai ditumbuhkan sejak dini maka anak akan lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungannya, baik itu di sekolah maupun di rumah, lanjut Kris.

Khasiat kemuning

Khasiat kemuning


Mengatasi bisul
Akar kemuning kering sebanyak 30 g dicuci dan dipotong-potong seperlunya. Rebus dengan 3 gelas air bersih sampai air rebusannya tersisa 1 gelas. Setelah dingin disaring Lalu diminum. Sehari 2 kali, masing-masing 1/2 gelas.

Mengatasi rematik, keseleo, memar
Akar kemuning kering sebanyak 15 - 30 g dicuci Lalu dipotong-potong seperlunya. Tambahkan arak dan air masing-masing 1 1/2 gelas. Lalu direbus sampai tersisa 1 gelas. Setelah dingin disaring. Minum 2 kali sehari, masing-masing 1/2 gelas.

Makan bersama di luar rumah Membangun suasana segar dalam keluarga

Makan bersama di luar rumah
Membangun suasana segar dalam keluarga



Menikmati suasana malam sambil menyantap makanan bersama keluarga sangat mengasyikkan. Apalagi jika seluruh anggota keluarga bisa berkumpul dalam kesempatan tersebut. Untuk menghindari rasa bosan dan refreshing tak ada salahnya sesekali makan bersama keluarga di luar rumah. Lantas sejauh mana pentingnya momen tersebut?
Canda tawa antara Ayu dan Hendra, dua bersaudara yang tengah asyik menikmati santap makan malam di salah satu restoran cepat saji di Solo Square membuat suasana makan malam keluarga Indra semakin lengkap. Lebih-lebih keluarga Indra yang terdiri dari empat orang ini jarang sekali menikmati makan bersama dengan keluarga di luar rumah.
”Kebetulan kami satu keluarga pas bisa ngumpul, anak sulung saya yang kuliah di Bandung kebetulan juga pulang jadi kami ingin menikmati kebersamaan ini dengan makan di luar rumah, sekalian jalan-jalan,” ungkap Ny Indra.
Dituturkan Ny Indra, sebelumnya mereka juga sering makan bersama di luar rumah sebulan atau dua pekan sekali. ”Kalau ingin keluar makan di luar rumah biasanya mendadak, tidak direncanakan karena biasanya spontan dari anak-anak atau suami,” lanjutnya.
Menurut ibu dua anak ini, makan bersama keluarga di luar rumah manfaatnya sangat besar, mereka bisa melepas kepenatan aktivitas masing-masing. ”Terutama bagi kami selaku orangtua bisa mendengarkan keluh kesah atau unek-unek anak-anak yang keluar secara spontan. Namun biasanya hanya sekadar untuk refreshing,” papar Ny Indra yang tinggal di Permata Puri, Colomadu ini.
Hal senada diungkapkan Adi, pria dua anak ini juga merasakan perbedaan yang sangat besar antara makan bersama keluarga di luar rumah dengan makan di rumah. ”Awalnya saya ingin menyenangkan anak, selain itu isteri saya juga bisa istirahat. Ternyata anak-anak merasa enjoy, demikian pula isteri saya, Akhirnya minimal sebulan sekali kami makan bersama di luar rumah,” lanjutnya.
Menurut Adi, makan di luar rumah tidak harus mahal, yang penting semua anggota keluarga bisa kumpul. ”Entah hanya sekadar makan bakso atau nongkrong sambil menikmati jagung bakar di alun-alun. Saya merasakan memang ada suasana lain,” akunya.
Suasana berbeda dirasakan pula oleh keluarga Ny Maria. Menurutnya, untuk lebih mengakrabkan hubungan orangtua dengan anak sesekali dia makan bersama di luar rumah. ”Lebih-lebih kami berdua kan seharian bekerja, jadi kalau hari Minggu kesempatan untuk kumpul bersama anak-anak dan suami,” ungkap Ny Maria.
Biasanya Ny Maria mengajak anaknya menikmati ayam goreng cepat saji di salah satu restoran di Solo. Namun bisa juga hanya sekadar menikmati nasi goreng di kaki lima. ”Yang terpenting bukan tempatnya atau mahal tidaknya makanan tapi kebersamaan yang jarang kami temukan setiap hari. Kesempatan makan ini bisa jadi ajang untuk saling membuka diri, termasuk antara saya dan suami,” lanjutnya.
Hal serupa juga dialami oleh Ninik, karyawan perusahaan swasta yang masih berstatus lajang ini mengaku tidak setiap saat bisa kumpul bersama seluruh keluarga karena masing-masing memiliki kesibukan sendiri. ”Sebisa mungkin saya kalau ada waktu menyempatkan makan bareng keluarga, apalagi jika ada kesempatan makan bersama di luar rumah karena bisa jadi ajang melepas kangen. Apalagi empat kakak saya sudah berkeluarga, jadi jarang bertemu,” kata Ninik. -

Rabu, 14 November 2007

Pernikahan, masihkah akan indah?

Pernikahan, masihkah akan indah?


Kini, hatimu mungkin merasa miris melihat sejumlah rumahtangga selebritis Indonesia berakhir dengan perceraian. Padahal tak sedikit dari mereka yang selalu terlihat mesra di depan publik. Sebut saja seperti pasangan Ray Sahetapi-Dewi Yull. Atau yang juga kini juga digosipkan akan bercerai, pasangan Jamal Mirdad dan Lidya Kandow.

Yang tak terekspos, tentu saja tak sedikit jumlahnya. Namun yang jadi pertanyaan seperti apa memangnya pernikahan tersebut? Sebenarnya pernikahan adalah kehidupan baru yang harus difahami agar berjalan indah sesuai harapan. Tentu saja ada banyak hal yang harus dilakukan agar bisa mewujudkan hal tersebut.

Salah satu pertanyaannya yakni, sudah yakinkah hatimu dengan pilihanmu dan memutuskan untuk menikah? Yang perlu diyakinkan adalah dia adalah sosok orang yang sempurna di matamu. Tak perlu penilaian orang lain. Bisa saja setiap orang mengaguminya. Tapi pastikan dirimu merasa yakin karena kamulah yang menikah dengannya bukan mereka!

Pernikahan yang kaulakukan jangan pernah lantaran melihat alasan orang lain. Misalnya saja orang lain yang seusiamu atau orang-orang terdekatmu sudah menikah semua sementara kamu masih belum. Jadi untuk apa hanya sekadar mengikuti jika kamu sendiri masih belum tahu dan mampu? Yang diperlukan di sini adalah kesiapan dan keseriusanmu sendiri.

Jangan pernah berpikir lantaran sudah dekat dengan keluarganya dan orangtuamu sayang padanya, maka kamu harus segera menikahinya. Camkan, kamu sendiri yang akan menikah dengannya, bukan orangtuamu.

Ingat, pernikahan berarti berbagi hidup bersama hingga akhir hayat nanti. Jadi banyak hal yang harus disiapkan. Hidup juga nantinya tak untuk sendiri saja akan tetapi semuanya ditujukan untuk kebahagiaan berdua dan juga anak-anak nantinya. Egois dalam hal ini juga harus dibuang jauh-jauh.

Pastikan juga kamu mencintainya apa adanya. Pada hubungan yang pernah terjalin sebelumnya, kamu selalu merasa terganggu dengan kekurangan yang ada, tapi hal tersebut tak terjadi saat bersamanya. Bahkan kamu menjadi lebih gembira dengan keberadaan dan segala kekurangannya.

Kamu juga harus tahu apa yang dibutuhkannya. Jika benar-benar memperhatikannya, kamu pasti tahu apa yang dibutuhkan dan diingininya. Segalanya pasti sesuai dengan selera kalian berdua dan mencerminkan adanya komitmen yang terjaga.

Bagi kamu yang sudah siap untuk menikah, perencanaan adalah perlu. Ini akan membuatmu membayangkan sebuah kesempurnaan, tapi juga mungkin saja membuat kamu membayangkan kegagalan. Tak perlu takut, jalani segalanya dengan penuh rasa percaya diri dan usahakan secara maksimal. Sadari dia adalah bagian dalam hidupmu.

Biasanya perceraian yang terjadi di awal tahun lantaran keinginan untuk bebas dan merasa dirinya lebih dari pasangannya. Untuk lolos dari hal ini, buang pikiran tersebut jauh-jauh dan bayangkan sebuah pernikahan indah yang akan Anda jelang sampai akhir hayat, persis seperti syair lagu lawas, "A Story Book Children". Ingat berjuta-juta buku anak-anak selalu ditutup dengan kalimat klasik, ...and they live happily ever after....
(dtr/cn02)

Menyelami laut, mengarungi diri sendiri


Menyelami laut, mengarungi diri sendiri


Olah raga menyelam (scuba diving) memang kegiatan berbahaya. Tapi jika tahu tata cara yang benar dan apa saja yang harus diperhatikan ketika menyelam, tentu hal ini akan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Karena itu banyak eksekutif gandrung pada olah raga menyelam.

Mereka memburu tempat-tempat menyelam yang eksotik di Indonesia. Apalagi dari segi biaya tidak terlalu mahal meski kegiatannya itu sendiri tidak kalah bergengsi dengan hobi mobil dan motor. Maka, tak heran bila banyak eksekutif menjadi maniak selam.

Apalagi di Indonesia badan resmi yang mendukung kegiatan diving ini pun mudah dijumpai. Ada Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) yang berafiliasi dengan Confederation Mondiale des Activites Subaquatiques (CMAS)-bermarkas besar di Italia-Professional Association Diving Instructor (PADI), Scuba Diving international, dan masih banyak lainnya.

Menariknya, meski tiap badan pengeluar sertifikat menyelam dan mematok biaya kursus, namun tidak jarang dalam praktiknya masih ada peluang negosiasi. Beberapa kewajiban misalnya, juga masih bisa disiasati. Di Jakarta biasanya badan seperti itu mematok biaya antara Rp1,6 juta hingga Rp1,8 juta, kecuali di Bali yang sebagian besar mematok tarif kursus dengan US dolar.

Hobi menyelam menjadi terlihat mahal dan cukup bergengsi lantaran biaya akomodasi rentetannya. Itulah yang dialami Ida Lasida, satu eksekutif dari PENSA-satu lembaga pengembangan usaha kecil menengah untuk kawasan timur Indonesia yang kini berbasis di Bali.

Dengan gaya bicara yang lembut dan low profile dia menuturkan bukan dirinya saja yang kebetulan suka dengan dunia selam, tetapi juga sang suami, N.A.A Wedar. Bahkan sang suami sudah memiliki sertifikat untuk taraf instruktur. "Yang membuat mahal itu perjalanan kita bila ingin menjamah lautan di luar Jakarta seperti Bunaken, Komodo Menjangan dan sebagainya," ujar Ida.

Beruntung, ibu satu anak ini tinggal di Bali. Dengan begitu dia bisa setiap akhir pekan menjelajahi lokasi diving menarik di kawasan Pulau Dewata ini. Bukan itu saja, Ida kini sudah banyak tahu di bagaimana mencari dan menyiasati biaya akomodasi agar tidak terlalu mahal.

Bagi orang Jakarta, untuk bisa menaklukan lautan di seputar Amet, Menjangan dan Tulamben Bali, mesti harus menyiapkan dana yang tidak sedikit. Apalagi jika ingin menjamah Komodo, Bunaken atau laut Bandanaera.

"Saya sebenarnya masih menjadi anggota Bubles di Jakarta, bukan klub sih tapi lebih mirip paguyuban yang kebetulan sesama penggemar olah raga diving dan banyak dari mereka memang kalangan eksekutif," kata Ida.

Menurut Ida ada beberapa tahapan latihan untuk dapat menguasai teori menyelam. Namun semua itu bergantung dari tujuan masing-masing. Apakah kegiatan diving hanya untuk melampiaskan hobi atau ada keinginan mendalami lebih jauh sebagai instruktur.

Kalau hanya untuk senang-senang tahapan tingkat dasar bisa jadi sudah cukup, tapi juga tidak ada salahnya jika mau mendalami lebih jauh karena selain akan memberikan banyak pengetahuan juga memberikan rasa keamanan. "Bahkan dengan menguasai sebagai self contained underwater breathing aspparatus [SCUBA] untuk tingkatan tinggi seperti master, kita bisa menyelam sendiri tanpa ada guide," paparnya.

Lantas apa sih yang menarik dari menjelajahi perut laut itu sehingga para eksekutif ini mau bersusah-susah, bahkan tidak jarang menghadapi rintangan yang membahayakan? Sekalipun mereka menguasai teori selam bisa jadi bahaya itu datang di luar perkiraan. Ida misalnya beberapa kali sempat menemui arus kuat yang mampu menyedot dirinya untuk terus ke dalam.

Karena itulah penyelam harus sehat, bebas dari sakit berat seperti jantung, ayan, diabetes, karena kegiatan ini betul-betul menguras tenaga. Namun bagi Ida maupun Wedar, sebesar apa pun rintanganya tidak mampu mengalahkan pesona warna-warni terumbu karang, gunung laut, lembah dasar laut yang jauh lebih menakjubkan dibanding pesona alam di daratan.

Begitu juga dengan Kany V. Soemantoro, direktur PT Orindo Alam Ayu Oriflame Indonesia. Pria kelahiran Makasar 13 Septembar 1968 ini juga salah satu eksekutif yang sangat doyan kegiatan menyelam.

Kepulauan Seribu, Bunaken, Bali, Menado dan Ujung Kulon adalah deretan perut laut yang akrab disinggahinya. Kegiatan diving ini selain dilakukan tiap liburan akhir pekan atau liburan panjang juga di sela-sela kunjungan kerjanya ke daerah.

Gundukan dan lembah pasir di dasar laut itu, menurut Kany, tak kalah indah dengan gurun pasir di Timur Tengah. Belum lagi aneka tumbuh-tumbuhan laut dan ikan hias yang membentuk suatu taman laut.

Dari diving pula seseorang akan memperoleh manfaat water therapy, yaitu efek yang ditimbulkan jika kita turun ke laut pada kedalaman tertentu maka tubuh kita akan menciut dan memberikan tekanan untuk melepaskan nitrogen yang mengendap di tubuh. Saat keluar dari laut tubuh kita terasa mengembang dan memberikan rasa segar luar biasa.

"Biasanya saya menyempatkan mengambil cuti atau mengambil kesempatan saat libur panjang," tutur mantan salah satu direktur PLN, Tunggono Soemedi yang kini menjabat sebagai direktur operasional PT Cahaya Sakti.

Kepada Bisnis, dengan semangat pria berambut putih yang masih terlihat seperti usia 50-an ini menuturkan awal ketertarikannya pada olah raga selam yaitu terbentuk sejak 1986 saat masih menjabat di PLN Jawa Timur. Dia berlatih bersama pasukan katak marinir TNI AL

Hobi itu makin menjadi-jadi saat dia bertugas di Makassar yang memiliki belasan pulau di depan kota Makassar, antara lain pulau Kayangan, Lae-lae, Samalona, Barrang Lompo, Barrang Caddi, Kondingareng Keke, Kondingareng Lompo, Bone Tambung, Lanjukang, Langkai, dan Lumu-lumu.

Namun menurutnya lokasi menyelam (dive site) favoritnya dan yang paling indah justru terletak di Kapoposang yang harus ditempuh sekitar dua jam perjalanan ke arah barat laut Kota Makassar.

Aktivitas ini tidak dijalani oleh Tunggono semata, namun kedua putrinya yaitu Yuni Kirana dan Desi Mustika ternyata juga merupakan penghobi olah raga ini. Bahkan Yuni telah mendapatkan gelar master dive.

"Wah, kalau anak saya yang satu itu [Yuni] malah sudah pernah menyelam di dive site seluruh Indonesia," paparnya tanpa bisa menyembunyikan rasa bangga terhadap putrinya itu.

Sedangkan dirinya sendiri merasa cukup puas menyelam di Pulau Derawan, Kalimantan Timur dan Nusa Penida, Bali. Bagi kalangan divers, demikian Tunggono, Pulau Derawan memang sudah terkenal memiliki keelokan dasar laut sehingga tak heran cukup banyak penyedia jasa perjalanan yang menawarkan pelayanan bagi para pecinta kedalaman ini.

Selain menyelam di Pulau Derawan tidak rugi jika, melanjutkan kegiatan selam ke Pulau Sangalaki, Kakaban, dan Maratua. Di pulau-pulau itu ada keunikan tersendiri yang tidak mungkin ditemukan di wilayah lain. Pulau Sangalaki misalnya, mempunyai populasi ikan pari biru (manta rays) yang unik dengan lebar lebar badan dapat mencapai 3,5 meter.

Pulau Derawan memiliki air sangat jernih, sehingga mudah menemukan penyu berseliweran dengan jinaknya, berenang di seputar penyelam. Selain itu mudah ditemui ikan barracuda, ikan-ikan hias, dan ribuan ikan terumbu karang beriringan simpang siur di kedalaman laut.

Sedangkan di Nusa Penida, penyelam dapat menonton udang karang (panulirus versicolor), gurita dan kepiting keluar mencari makan setelah tidur sepanjang siang di balik karang.


Itulah sebagian keasyikan ketika hobi menyelam sudah mendarah daging.
(bisnis/cn02)

Senin, 12 November 2007

Bokong kobong

Bokong kobong

Kisah nyata yang dialami oleh Bawor ini adalah pelajaran berharga bagi para perokok sekaligus pekorek. Gara-gara kurang berhati-hati dan teledor, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di Pontianak, yang kebetulan asli bobotsari Purbalingga ini pantatnya keslomot korek.

Lho, kok bisa? Begini ceritanya...

Bawor yang tinggal di sebuah komplek perumahan di Pontianak ini adalah seorang pecandu rokok. Akan tetapi kebiasaan ini sebenarnya tidak diperbolehkan oleh ibunya, Lady Cangik. Karena itulah Bawor sering merokok dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak kewenangan biyunge.

Pada suatu malam Bawor congore kecut banget, blangkemen pengin udud di kamarnya. Rokok yang tinggal sebatang pun disulutnya dengan rek jres alias korek batang. Dan untuk ”menghilangkan jejak”, korek batang itu pun ia masukkan di kantong belakang celana pendeknya.

Entah lupa atau dasar cah ndlewer, Bawor tidak nyana babar blas kalau sudah dua hari korek batang itu ngendon di saku belakang celananya. Dasar bocah kemproh, selama dua hari itu pula Bawor terus saja memakai celana pendek tersebut. Akibatnya, kotak korek itu menjadi rusak dan beberapa batang korek keluar dari wadahnya. Hal ini juga tidak disadari oleh Jon Bawor yang masih tetap memakai celana itu.

Bawor baru sadar ketika ia mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan bagi dia, namun menggelikan bagi orang lain. Saat lagi enak-enaknya turu ngorok, tiba-tiba saja bokongnya merasa sakit yang teramat sangat, mak slenget begitu rasanya, sehingga ia langsung kaget dan terbangun seperti orang habis mengalami mimpi buruk. Rasa perih dan panas melanda bokong Bawor yang masih terbalut celana pendeknya yang terbakar.

Usut punya usut, ternyata sumber bencana berasal dari korek batang yang ada di saku celana itu. Penthol korek yang keluar dari kotak yang sudah rusak itu menggesek pemantik pada bungkus korek api yang bergeser seiring dengan gerakan tidur Bawor yang pating penthalit. Akibatnya, api menyala! Meski akhirnya mati lagi, tak pelak nyala api itu sempat membuat kulit pantat dan celana Bawor kobong. Ana-ana baen kae bocah... -



 

Sabtu, 10 November 2007

Kunang-kunang Mengerjap Gelap Ruang

Kunang-kunang Mengerjap Gelap Ruang

LEPAS tengah malam, lelaki setengah baya itu hadir menciptakan suasana aneh: kunang-kunang mengikutinya, berpendaran, mengerjap, berkelap-kelip dalam gelap ruang kamar Ayu. "Aku takut kegelapan," kata Ayu.

Lampu kamar dimatikan. Ayu memeluk rapat dan menyusupkan wajah ke dada lelaki setengah baya. Mata Ayu terpejam. Tangannya merengkuh punggung lelaki setengah baya itu. Jari-jemari mencengkeram, hampir-hampir mencakar dan mengelupas kulit.

Agak lama Ayu menyusupkan wajah ke dada lelaki setengah baya itu. Menghindar dari sergapan masa lalu di gudang gelap: kilau sabit yang dikalungkan Ayah di lehernya, semasa ia kanak-kanak. Kasar, penuh amarah, Ayah membentak, "Turut Ayah atau Ibu?". Ia ingin turut Ibu. Tapi sabit yang dikalungkan di lehernya, memaksanya untuk menukas terisak, "Turut Ayah." Ditinggalkannya Ibu dan kedua kakak perempuan. Tinggal bersama Ayah dan Nenek yang cerewet, suka mengajarinya menari, dan bila malam tak turun hujan, mengajaknya tidur di pelataran, memandang bintang-bintang hingga pagi.

Gelap ruang selalu menakutkan Ayu. Mengingatkannya pada pengab gudang berdebu dan leher terancam kilau sabit. Tapi kali ini ia kaget, dalam gelap ruang kamar berpendaran kunang-kunang yang mengikuti lelaki setengah baya. Ia jarang melihat kunang-kunang waktu malam, meski dulu Nenek selalu memintanya tidur di pelataran rumah hingga dini hari: merasakan rembesan embun dalam dingin malam, kepak lembut sayap kelelawar, dan bintang-bintang jatuh dalam kubah sunyi. Tampak dari pelataran rumah Nenek cerlang bintang-bintang di langit. Cahaya berpendaran itu yang membebaskannya dari rasa takut sekapan gelap gudang, hardikan kasar Ayah, dan kilau sabit yang mengalungi lehernya.

Kini kunang-kunang menyertai lelaki setengah baya itu ke dalam gelap kamar. Rintihan Ayu tengah malam menyingkap tabir kelam. Suara rintihan itu membebaskan ketakutan masa silam. Terbaring di sisi lelaki setengah baya itu, Ayu seperti perawan menemukan pangerannya dalam rimba, tersentuh cahaya kunang-kunang dan tergagap dalam kekaguman. Di rumah yang dikelilingi rimbun pepohonan, dengan harum bunga-bunga kopi di perkebunan, sesekali terdengar canda Ayu. Lelaki setengah baya itu terdiam memandanginya. Menatap tato setangkai mawar di payudara kanan Ayu. Menyembul di batas selimut penutup tubuhnya.

"Kau masih nyanyi di kelab?" tegur lelaki setengah baya itu.

Nada suaranya seperti tak rela.

"Tidak ada undangan menari. Jadi, apa salahnya aku menyanyi?".

"Aku lebih suka melihat kau menari di panggung."

"Kau persis Ayah," balas Ayu. "Bedanya, dulu, Ayah memaksaku menari, selalu dengan ancaman."

Kunang-kunang masih mengitari kamar Ayu, dalam gelap ruang. Selalu saja, setiap kali lelaki setengah baya itu datang, kunang-kunang menyertainya. Tengah malam itu dalam gelap kamar, semula ia disekap rasa takut, tergeragap, dan hampir-hampir tak bisa menguasai diri. Tapi begitu kunang-kunang menebar dalam kamar, ia merasakan sentuhan lelaki setengah baya itu jadi lembut, meski kadang tertahan. Tak seperti lelaki-lelaki lain yang senantiasa hadir dengan kekasaran, napas beraroma rokok dan minuman keras murahan, lelaki setengah baya ini, sangat santun menyentuhnya. Dua puluh sentuhan lelaki, mungkin lebih, yang pernah menjadi kekasihnya, tak satu pun menandingi kelembutan lelaki setengah baya. Ia serupa kunang-kunang yang mengerjap dalam gelap ruang, dan meneduhkan pandangannya untuk memaknai semua benda dan bayangan.

Menjelang dini hari aroma bunga-bunga kopi kian pekat, tertimpa embun. Kunang-kunang lenyap dari kamar. Terasa desir kecemasan dalam kantuk Ayu. Ia menerobos ke kamar Arlinda, anak gadisnya, kanak-kanak lima tahun, yang setiap saat mesti tidur sendirian. Tanpa teman. Biasanya Sarkem, pengasuh Arlinda, segera meninggalkan kamar, begitu gadis kecil itu terlelap. Bergegas perempuan setengah baya itu memasuki kamarnya sendiri di dekat dapur. Menguncinya rapat-rapat.

Sarkem tak peduli akan apa yang terjadi di rumah itu. Ayu biasa pulang tengah malam, dan membawa lelaki ke kamar tidurnya. Sarkem tak mau tahu. Ia melihat lelaki teman kencan Ayu meninggalkan rumah pada pagi hari. Tak pernah bertanya. Ia mendengar suara canda dari kamar Ayu. Tak mau menggubrisnya. Ia kadang mendengar Ayu menangis di kamar itu. Ia tak mau merenunginya. Ia hanya memikirkan Arlinda. Begitu berkali-kali Ayu memperingatkan Sarkem: menjaga Arlinda dengan sebaik-baiknya.

Memasuki kamar Arlinda, Ayu memandangi gadis kecil itu masih lelap tidur. Wajahnya polos dan jenaka. "Mudah-mudahan ia tak lagi bertanya, di manakah ayahnya," bisik Ayu sambil menutup kembali pintu kamar, pelan, rapat, tanpa suara.

***

MENYUSURI pagi berkabut, Ayu melintasi jalan setapak di celah hamparan kebun kopi. Bibirnya merah menyala. Tubuh ranum menggoda. Dia bisa merasakan getaran tubuh yang menantinya di sendang. Dia yakin, di sendang ada sepasang mata yang menatapi tubuhnya saat mandi.

Dalam kabut rembang pagi, Ayu menuruni jalan berbatu mencapai tepian sendang, yang memantulkan cahaya langit samar-samar. Berhenti di ambang sendang, ia bersimpuh. Guyuran air pertama dari sendang - yang diambilnya dengan belahan tempurung kelapa - terasa menggigilkan. Tapi pada guyuran berikutnya, ia merasakan kehangatan air sendang.

Di sendang sebelah, Tejo -lelaki dengan dada bertato naga- meredakan kemarahan yang menggemuruh dalam dada. Tiap kali lelaki setengah baya itu datang ke rumah Ayu, Tejo murka. Ingin membantai lelaki setengah baya. Semalam dia mengendap-endap di sisi kamar Ayu dan melihat kunang-kunang dalam gelap kamar. Ia ingin melampiaskan dendam pada lelaki setengah baya, yang selalu diterima Ayu. Dia kehilangan kesempatan mencumbu perempuan itu: diusir, dimaki, dihinakan. Ia tak punya tempat untuk melampiaskan dendam pada lelaki setengah baya itu, kecuali mendatangi sendang. Di sini ia bisa memandangi Ayu yang sedang mandi. Dadanya yang bergolak menjadi dingin. Amarahnya mereda. Ia biasa mandi di sendang, dan merasakan kucuran air menderas membasuh dendamnya.

"Kenapa tidak kauusir lelaki tua itu?" kata Tejo, menahan gigil: antara dingin dan murka.

"Aku suka dia, yang selalu datang dengan kunang-kunang dalam kamar."

"Tapi kau tak tahu, dia pejabat yang diutus wali kota membakar pasar lama, agar bisa dibangun pasar baru!"

"Aku tak berurusan dengan itu!" balas Ayu. "Dia memberiku ketenteraman." Dengan telapak kaki berpijak di atas bebatuan, Ayu memandangi lengkung langit yang pucat di permukaan sendang. Tergenang pula di permukaan air sendang, bibirnya merah menyala. Tubuhnya ranum menggoda.

Tejo memandangi Ayu mengguyur tubuh dengan ketenangan menggiurkan. Ayu bukannya tersipu malu. Ia menikmati dipandangi mata lelaki dengan hangat berahi. Ia juga membiarkan jendela kamarnya terbuka saat lelaki setengah baya itu datang. Bukan untuk mengundang kunang-kunang menyergap kamarnya. Ia tahu Tejo memandangi bayangan tubuhnya mabuk cumbu.

"Mestinya kau yang menyingkirkan lelaki itu!" kata Ayu, memancing kemarahan Tejo.

"Akan geger wilayah ini, kalau ia kubunuh! Tapi suatu saat, aku akan membuat perhitungan dengannya!" tukas Tejo. Ia beranjak menapaki jalan berbatu, sebelum orang-orang melihatnya berada di sendang bersama Ayu.

Kabut tersapu bias cahaya matahari, saat Tejo mencapai jalan setapak di perkebunan kopi. Gemericik air sendang tak terdengar lagi. Dada lelaki muda itu masih sesak, merasakan kegetiran yang menyengat: ingin membantai lelaki setengah baya yang sesekali menyelinap diam-diam ke rumah Ayu. Ditinggalkannya Ayu. Menenangkan perasaannya sendiri.

***

CAHAYA matahari menghangati rambut Ayu yang basah. Merembes air di pundaknya yang terbuka. Ia meninggalkan sendang, menapaki jalan berbatu, yang kini mulai berlumut, licin, dan menggelincirkan. Di pelataran rumah, ia lihat lelaki setengah baya memandanginya takjub. Matanya teduh, menenteramkan. Menggendong Arlinda. Mengusap-usap rambut kusut gadis belia itu. Menurunkannya. Arlinda berlari menghampiri Ayu.

Ayu selalu menemukan lelaki setengah baya itu tenang dan lembut di atas mobil dinasnya. Keteduhan itu, mungkinkah menyimpan kekejian seperti yang dituduhkan Tejo? Dalam gelap ruang kamarnya, dengan jendela yang terbuka, selalu muncul kunang-kunang saat lelaki setengah baya itu datang. Ia bisa merasakan, betapa berbeda tatapan mata lelaki setengah baya itu dengan Ayah, yang bengis, kasar, dan menaklukkan. Ayah meninggal dunia saat ia beranjak remaja, dan ia kembali hidup bersama Ibu -yang sangat asing, bertahun-tahun ia mencoba mengenali perempuan yang melahirkannya dan gagal.

Di atas mobil dinasnya, lelaki setengah baya itu memancarkan kelembutannya. Tersenyum. Melambai. Arlinda membalas lambaian tangan itu. Ayu termangu. Ia akan kembali dengan dirinya sendiri. Menyanyi di kelab malam dekat perkebunan kopi. Kadang menari ke luar kota. Kadang menerima lelaki ke dalam kamarnya. Tapi kehidupannya masih juga gersang: lelaki-lelaki itu serupa barang mainan yang sesekali bisa disepaknya. Berganti-ganti memasuki kamarnya dua puluh kekasih, tanpa kunang-kunang dalam gelap kamar. Dan ia, tanpa sadar, bisa garang meradang pada kekasihnya.

Bila lelaki setengah baya meninggalkan Ayu, sebenarnya perempuan itu ingin tahu: kapan bakal datang lagi, membawa mobil dinas melintasi perkebunan kopi, dan memasuki pelataran rumahnya yang sunyi. Tapi ia tak berani bertanya. Ia tak bisa menduga, kapan lelaki setengah baya itu bakal datang. Yang membisik tanya malah Arlinda, "Kapan dia datang lagi, Ibu? Aku suka kunang-kunang pemberiannya."

***

ADA getaran dalam tubuh lelaki setengah baya itu, saat berhadapan dengan wali kota, di teras rumah, menghadap gemerlap kota. Malam mengantarkan angin lembab. Wali kota memandangi kerlap-kerlip gedung-gedung, dan di pusat kota, tampak redup cahaya pasar tua.

"Sudah kau laksanakan tugasmu?" tanya walikota, menghisap pipa rokoknya. Ia tak menatap lelaki setengah baya, pejabat kota, yang setia menemaninya.

"Akan kucari orang yang tepat untuk melaksanakannya."

"Jangan terlalu lama. Pasar itu kacau dan kumuh. Tak bisa diatur. Bakar saja. Dirikan pasar baru."

Lelaki setengah baya itu memandangi kota terhampar di bawah rumah wali kota, serupa kunang-kunang. Ia tersenyum. Teringat Ayu, yang setiap kali ia datang ke kamar perempuan itu, selalu beterbangan kunang-kunang memasuki jendela kamar yang terbuka. Dan perempuan itu menjadi riang dalam ketakutannya. Ayu menangkap kunang-kunang itu. Memasukkannya dalam gelas. Menangkupkan tangannya menutup gelas. Berteriak-teriak mencari Arlinda. "Ini, kunang-kunang untukmu, Nak."

***

TERCENGANG lelaki setengah baya itu, saat memandangi kota melalui jendela kamar Ayu yang terbuka. Ia tak melihat kunang-kunang yang mengerjap dalam kesunyian kebun kopi. Ia menatap jauh di pusat kota yang terbakar. Api terus membubung, menghanguskan cakrawala. Percikan kebakaran itu menyemburkan bunga-bunga api.

Tubuh lelaki setengah baya itu lemas seketika. "Aku tak mengutus siapa pun untuk membakar pasar tua," bisiknya. Teringatlah ia pada beberapa gelandangan yang tertidur di pasar. Terlintas dalam benaknya orang-orang gila yang hangat menikmati tempat tinggal di sudut-sudut pasar. Terberanguskah mereka?

Dari jendela kamar yang terbuka, lelaki setengah baya itu berharap api segera surut. Tapi ia tak melihat api mengecil. Menjadi padam. Lampu kota mati. Tinggal nyala api itu yang menggulung langit. Asap tebal membubung. Lelaki setengah baya itu buru-buru berpamitan pada Ayu. Mengendarai mobil dinasnya. Meninggalkan Ayu yang terbaring sunyi menanti kunang-kunang mengerjap dalam gelap kamar. Percikan-percikan api di pusat kota terus menyusup dalam gemeretak gelap langit sepanjang tengah malam hingga dini hari.

Ayu tak bisa menangkap kunang-kunang untuk Arlinda. Gadis kecil itu keburu beranjak tidur dalam kamarnya. Ayu tak ingin putrinya juga takut pada kegelapan seperti dirinya. Takut pada bayangan-bayangan kilau sabit yang mengalungi leher.

***

TAK ada kunang-kunang mengerjap dalam gelap kamar Ayu. Ia tak menyanyi di kelab malam. Sejak sore ia memasuki kamar. Merintih. Menangis tertahan. Dan Tejo tak peduli. Lelaki dengan dada bertato naga itu membiarkan jendela terbuka. Meski lelaki muda itu tahu Arlinda masih berkeliaran di pelataran, mencari-cari kunang-kunang yang beterbangan, dibiarkan pintu kamar terbentang. Gadis kecil itu menangkap kunang-kunang hingga menyusup ke kebun kopi. "Akan kutunjukkan kunang-kunang ini pada Ibu," bisiknya.

Berlarianlah Arlinda meninggalkan kebun kopi. Tangannya terus menggenggam kunang-kunang. Ia tak berani membuka genggaman tangannya. Menerobos pintu rumah. Dia menabrak pintu kamar Ayu. "Aku dapat kunang-kunang. Ini sungguh lucu, Bu!"

Tercengang, dalam gelap kamar Arlinda melihat ibunya terisak tangis. Dan Tejo, lelaki bertato naga di dada, menyiksa Ayu dalam rintihan. Kunang-kunang dalam genggaman tangan Arlinda terlepas, beterbangan. Sekejap gadis kecil itu melihat wajah Tejo yang menyeramkan. Tato naga di dada lelaki itu menyergap pandangannya. Ia berlari ke kamarnya. Mengunci pintu. Terdiam dalam gelap kolong ranjang. Tersekap kegelapan yang menggigilkan.

Kunang-kunang yang terbebas dari genggaman tangan Arlinda berputar-putar mengerjap dalam gelap ruang kamar Ayu.

Pandana Merdeka, Agustus 2007

"jubah jatuh"

"jubah jatuh"
Suatu malam terdengar suara gaduh di rumah pak sastro. Pagi harinya, Pak Joyo, tetangga dekat pak sastro bertanya...
Pak Joyo : Pak sastro, tadi malam kok terdengar suara gaduh di rumah bapak?
Pak sastro : Oh..itu, Jubah saya jatuh
Pak Joyo : Tapi Pak! suaranya kok sekeras itu?
Pak sastro : Ya iyalah...orang saya didalam jubah itu.
Pak Joyo : Ups....

Sudah tahu semuanya...

Sudah tahu semuanya...

Di sekolah, John diberitahu oleh teman sekelasnya bahwa sebagian besar orang dewasa pasti menyembunyikan sekurang-kurangnya satu rahasia, dan bahwa mudah sekali memeras mereka dengan mengatakan, "Saya sudah tahu semuanya". John kembali ke rumah dan memutuskan untuk mencobanya.

Ketika ia tiba di rumah, sambil memberi salam kepada ibunya, ia mengatakan, "Saya sudah tahu semuanya". Ibunya segera memberinya 20 ribu Rupiah dan berkata, "Jangan ceritakan pada ayahmu!"

Kemudian dengan sabar, anak itu menanti ayahnya pulang kerja,dan menyalaminya dengan, "Saya sudah tahu semuanya". Ayahnya cepat-cepat memberinya 50 ribu Rupiah dan berkata, "Tolong jangan katakan apa-apa pada ibumu !"

Pada hari berikutnya, ketika John mau berangkat ke sekolah, ia bertemu dengan supir ayahnya di pintu depan. Anak itu menyalaminya sambil berkata, "Saya sudah tahu semuanya".

Supir itu segera berjongkok, mengulurkan tangannya dan berkata, "Kemari, nak! Peluklah ayahmu ini!"

"jelek-jelek begini..."

"jelek-jelek begini..."
Disebuah ruang kelas V SDN 03 Ciganjur, seorang guru sejarah bertanya kpd Abdurrahman.
Guru : Dur, Siapa yang menandatangani Proklamasi?
Abdurrahman : nggak tahu pak, jawab Dur enteng.
Guru : Bagaimana sih kamu sdh kelas V tidak tahu
siapa yang menandatangani Proklamasi. Kalau
begitu kamu saya hukum berdiri di depan kelas sambil memegang telinga.
Setelah jam pulang, Abdurrahman langsung pulang ke rumah sambil menangis. Melihat kondisi anak kesayangannya tersebut sang bapak langsung bertanya.
Bapak : Dur, kenapa kamu menangis?
Abdurrahman : Saya dihukum oleh Pak Guru karna tdk bisa
memberitahu siapa yang menandatangani
proklamasi, pak.
Bapak : Bagaimana sih guru itu, orang tidak tahu kok
malah dihukum. Ayo ikut Bapak, biar bapak
kasih pelajaran guru itu.
Sesampai di sekolah Bapak dan si Dur langsung menemui sang guru, dengan nada emosi Bapak menegur sang guru.
Bapak : Bapak, kenapa anak kesayangan saya di hukum?
Guru : Sebelumnya saya minta maaf pak. si Dur saya hukum
karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan yg
seharusnya bisa dengan mudah dia jawab.
Bapak : Tapi dia kan sdh bilang kalau dia tidak tahu. Dan
Bpk seharusnya tahu, sih Dur kan masih kecil jadi
mana mungkin dia tahu siapa yg menandatangani
Proklamasi. Kalau Bpk mau tahu siapa yg
menandatangani Proklamasi nanti akan saya selidiki sendiri siapa sebenarnya yg menandatangani.
Guru : @%#$$%^(*&)**_+(*(&*^%$%#
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Bapak dan si Dur bertemu dgn Pak RT.
Pak RT : Darimana pak? kenapa sih Dur nangis seperti itu?
Bapak : ini pak, si Dur dihukum oleh gurunya hanya karena
tdk bisa memberitahu gurunya, siapa yg
menandatangani Proklamasi.
Pak RT : Begitu saja kok repot sih, sudah bawa ke sini
konsepnya biar saya saja yg tandatangan.
Jelek-jelek begini saya kan Pak RT jadi sdh
kewajiban saya membantu warganya.
Bapak dan si Dur kembali ke sekolah dan langsung menemui pak Guru dan dgn gagahnya berkata:
Bapak : Pak Guru, saya sdh menemukan orang yg akan
menandatangani Proklamasi. Sekarang bpk serahkan
konsep Proklamasinya ke saya krn Pak RT bersedia
untuk menandatanganinya.
Guru : %^$%^&^&&U)*)&^%$# (langsung pingsan)

Malin Kundang Pulang Kampung

Malin Kundang Pulang Kampung

TERSIAR kabar dari toekang tjerita tentang Malin Kundang yang dikutuk Ibunya jadi batu, mungkin ingatanmu akan menjalar ke masa lampau bila di antara kita ada yang enggan pulang. Ah, toekang tjerita sudah mati, tinggal aku yang diwarisi cerita dan aku akan mengisahkan kembali padamu, mungkin kau akan menuduh kisah ini adalah cerita yang sesat. Tapi simaklah baik-baik kalimat demi kalimat yang menyimpan matahari asing.

***

IA tertatih. Pincang. Dan di matanya, tumbuh gelombang. Bau cibitung melenggang setiap desir angin. Sore itu, ia menyusuri sepanjang pantai. Pasir putih di pesisir dihablur busa putih bersih. Ia meniti di atas batu-batu yang diukir air garam. Asin mata waktu. Ia melewati bongkahan kelapa yang lunglai dibelai angin dingin. Kadang bila capai, ia duduk di atas karang, menatap laut seberang sembari meniup saluang.

Senja di matanya cekung mirip laut. Lalu ia menangkap merah cahaya di langit seolah di jauh sana ada istana. Seolah-olah di tengah laut lepas itu terdapat sebuah pulau dan suara perempuan jelita. Juga suara panggilan dari orang-orang yang tinggal di pulau itu. Paranoid. Ia dengarkan suara-suara itu. Ia rapatkan daun telinganya pada kilasan angin. Semakin keras. Semakin menyayat. Ia amat gelisah karena panggilan menyayat itu terus terngiang di telinga. Tubuhnya dingin menggigil.

"Malin, kau sakit?" tanya istrinya yang baru muncul dari balik pasir menggunung.

Menggeleng. Mulutnya bergeming. Air mata menggelimang di pipinya yang agak menghitam. Telapak tangan dan kakinya keringatan. Sakit jantung? Atau ia akan terkapar di pembaringan selama berbulan-bulan? Kemudian ia menutup telinga, menunduk seolah sayatan demi sayatan betul-betul mengubah degub jantungnya.

"Kau kenapa, Malin?" istrinya tak mengerti.

"Dengarkan sayatan itu, istriku! Panggilan itu!"

Angin melerai rambutnya yang kusut dan sedikit pirang. Istrinya memegang daun telinga bermaksud mendengarkan sayatan suara. Tak ada. Tak sedikit pun perempuan yang dicintai mendengar suara-suara. Kemudian perempuan bergelung itu memeluknya dan mengajaknya pulang ke gubuk yang tak jauh dari pantai. Sementara suara-suara di pulau seberang semakin menyayat, seperti peperangan tak kunjung usai, tangisan anak-anak kecil, perempuan-perempuan. Udara terkoyak. Suara-suara itu terus terngiang di telinga Malin. Tubuhnya yang kerempeng semakin menggigil.

"Dengarkan suara sayatan itu, istriku! Dengarkan!"

"Aku tak dapat mendengar, Malin!"

"Apa gendang telingamu telah pecah?"

Diam. Perempuan itu menuang hasil jala bibit udang ke sebuah ember berwarna hitam. Mata merah senja mengedipkan luka. Perempuan itu mengapit Malin pulang ke gubuk, mengusap-usap kepalanya yang panas dingin. Kemudian istrinya segera menuju dapur. Memasak. Namun setiap kali Malin membuka telinganya, sayatan terdengar begitu menyesakkan dadanya ìLeungli! Leungli!" kata-kata itu tiba-tiba menyeruak dari mulut Malin. Kemudian Malin keluar dari gubuknya, ia menatap ke luar jendela.

Lelaki semata wayang itu segera membuntal pakaiannya dengan sebuah sarung kotak-kotak. Ia menggendongnya dan pelan-pelan mendekati istrinya yang sedang berjongkok di dekat tungku di dapur. Ia pamit padanya, agar ia diizinkan berlayar menuju jangkar yang memendarkan sayatan dan panggilan itu "Tapi, tapi, kau kan sakit, Malin?"

"Dengan keberangkatan ini, kuharap angin tak mendarahkan gelombangî.

ìAku khawatir! Aku khawatir."

"Biarkan aku akan pergi ke kampung Ibu," sembari mengarahkan telunjuknya pada sebuah pulau yang penuh asap melindap ke udara dan terlihat api menyala di tengah malam petang. Kali ini, istrinya dapat melihat pulau penuh asap itu. Namun tiba-tiba ia teringat ayah Malin yang meninggal dalam perang Paderi , ya, ayah Malin Kundang sudah tiada, ia gugur di bawah moncong peluru tentara berseragam hijau itu.

"Tapi? Tapi?" perempuan itu terlihat bingung.

Malin segera keluar dari gubuknya, ia menggendong buntalan sarung dan di tangannya sebuah pisang dan dua buah kelapa muda, ia melangkah pelan ke pantai, melewati bukit pasir pesisir. Ia berdiri tegak seolah-olah ia sedang mengumandangkan kata-kata dalam hatinya--Ah, Sungguh nyeri gelisah semakin basah--Malin menghenyakkan napas.

Ia melecut temali sampan yang menghunjam dalam air, lalu ia membuka layar dan menaikinya. Malin menatap istrinya yang berdiri di atas bukit pasir, gerimis di matanya turun berkelindan "Istriku, aku akan berangkat" tak ada sahut menyayat di udara, hanya deru angin, tatapan sendu memalu hatinya, seolah-olah istrinya berkata padanya "Malin, Sampaikan salamku pada Ibu, bila sudah tiba saatnya, kuharap kau segera pulang. Aku menunggumu".

Pelan-pelan Malin mendayung sampan yang ditumpanginya itu, namun tatapannya tetap terpagut pada istri yang mematung di atas bukit pasir. Dadanya sesak digasak sekian kangen dan kerinduan pada Ibunya, juga istri yang ditinggalkannya. Ia menoleh pada perempuan yang berdiri di atas bukit itu, ia menatap dalam-dalam hingga hilang bayang-bayang sampan. Malin kembali meniup saluang dan bernyanyi di atas sampan :

Angin laut mengantarku pulang

Menemui ibuku tersayang

Kangen menderu ke ambang

Tak dapat dikekang oleh bimbang

Dilantunkan sejauh tenggara, sejauh mata memandang hingga bertemunya langit dan laut di seberang dan solah-olah ikan-ikan mengikutinya dengan riang.

***

DERU perdu terdengar bagai langgam para penyembah matahari. Melingkar. Mata mereka mencorong pada terik dan kedua belah tangan mereka dianjungkan ke atas. Sementara di tengah-tengah lingkaran mereka, seorang perempuan setengah telanjang. Berkutang. Dan kain menutup pahanya yang kuning langsat. Deru perdu itu terus menyayat jantung udara, seolah dendang ritus berdentang menghablur nyawa sunyi.

Malin, lelaki bermata cekung dengan kilatan bulan tsabit di alisnya segera tiba di tempat itu. Ia terpesona pada sekumpulan orang-orang seberang berkeliling bagai menerawang tujuh lapis langit. Ia melihat dari jauh, melihat dari balik pohon palma yang meliang di dekat sekumpulan orang itu. Sorot matanya tajam. Langgam terus runyam di kuping.

Byaarrr!! Degub jantung Malin mengehentak seketika, sorot matanya tertuju pada perempuan itu, ya, perempuan yang dikelilingi oleh beberapa lelaki. Kutang warna jingga dan kain tipis berwarna kelabu membalut tubuhnya. Sorot mata Malin makin tajam. Dan sesekali ia tercengang melihat perempuan itu.

"Ibu!" menyayat dalam hatinya.

Perempuan yang duduk di tengah lingkaran itu menoleh ke arah Malin, sedang Malin mengintip di balik pohon. Mungkin gelagat Malin diketahui perempuan itu. Ia mencari tahu. Ia keluar dari dalam lingkaran, sedangkan orang-orang yang melanggam itu masih khusyuk. Malin tetap mengintip di balik pohon palma itu, sedang perempuan yang dipanggil Ibu itu terus mencari tahu, siapa seseorang yang datang itu? Ah, perempuan itu terus mendekat. Malin lari dengan cepat. Ia mengejarnya. Malin lari ke arah pantai, ke arah ia menambatkan sampan. Ia makin dekat dan sampan Malin sudah tak ada, entah ke mana?

"Berhentilah anakku!"

"Kau? Kau?" terhenti.

Saling pandang. Perempuan itu terus mendekat pada lelaki yang pincang itu.

"Kau Malin, kan?"

Diam. Tatapannya seolah menusukkan anak panah di jantung Malin.

"Kau? Kau?" terhenti lagi. Malin tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Namun perempuan itu terus mendekatinya. Air matanya tumpah ruah di pipinya.

"Kau anakku, Malin."

Malin menggeleng. Ia mundur ketika ibunya mendekatinya, "Kenapa ini bisa terjadi, Ibu? Apakah Ibu sudah tidak sayang, Ayah? Kenapa Ibu tega begini?" tiba-tiba menggeliat di udara.

"Maksudmu Malin?"

"Kenapa kau tega melacur di sana, Ibu? Di antara kumpulan orang-orang sialan itu??"

"Apa??" perempuan itu menampar Malin. Keras. Malin terpelanting.

"Jaga mulutmu, Malin! Jaga! Ini sesembah pada Sang Hyang."

"Tapi? Tapi pakaianmu, Ibu?"

"Demi bumi, demi langit dan seisinya, demi lautan yang terbentang di depan kita, Ibu tak punya perangai seperti yang kau pikirkan, Malin."Tapi pakaian Ibu?"

Diam. Sunyi. Senyap.

Suatu ketika, Ibu masih ingat -perempuan itu bercerita, ia membelakangi lelaki pincang itu. Sebelum ayahmu berangkat ke medan laga, sebelum ayahmu meninggal, ia mengatakan pada Ibu, jagalah Malin agar Malin selalu berbakti pada orang tua, agar Malin selalu menjadi kebanggaan tanah kelahiran. Tapi nyatanya? Nyatanya kau punya pikiran macam itu pada Ibu. Nyatanya Ibu tak mampu mendidikmu, Malinóperempuan itu menunduk, dari matanya setetes dua tetes air bening mengalir.

Malin mengangguk. Ia tak kuasa menatapnya setelah sumpah serapah lungkrah di udara, setelah ibunya menutur pinutur tentang ayahnya. Malin segera menunduk di depan Ibunya, mencium kakinya sembari berkata "Mohon maaf, anakmu, Ibu! Tapi bila Ibu berbohong, berbohong pada janji ayah, semoga sang Hyang Widhi Yasa menjadikan Ibu batu hitam yang keras di sini, di pantai ini," kutuknya.

Kening perempuan itu berkerut. Ia menatap mata Malin dalam-dalam. Kemudian asap melindap dalam senyap. Aroma kampung asal menyeruap. Bayang-bayang perempuan yang mencintainya, ya, wajah perempuan yang berdiri di atas bukit pasir masih terngiang dalam ingatan Malin. Ia ingin menyampaikan salam rindu darinya, namun Malin masih teringat luka lama yang masih anyer di dada. Ah, ia diam, karena tak ingin menelan sejuta keperihan lain lagi.

***

DUA hari Malin bersama Ibunya. Dan siang itu, seonggok tubuh tiba-tiba membeku, angin ngungun, tiba-tiba langit mendung, Malin kaget, kepalanya mendongak ke atas, menatap ke depan, ke kanan, ke kiri, ke arah laut. Astaga! Apa ini. Deburan ombak menyambang dari depan, angin semakin kencang. Ikan-ikan di laut pada berdatangan menuju pantai, seolah-olah ia melingkupi dua anak manusia yang sedang tercengang di pantai. Ya, kaki perempuan itu mulai mengeras, kaki perempuan itu seperti yang dilem di atas pasir di pantai itu.

"Ibu! Kau kenapa? Katakan! Katakan sejujurnya Ibu! Apa sebenarnya yang terjadi pada Ibu?"

Perempuan itu seperti bengong. Ia mengusap-usap tubuhnya. Air matanya menggelinding di pipinya, meraba-raba kakinya yang mulai mengeras, betis, paha, perut, payudara, leher, telinga, hidung hingga rambut yang merumbai masai. Isak tangis semakin keras. Kedua kakinya seperti dipaku ke bumi, seperti akar menghunjam dan menjalar ke perut bumi. Malin segera memeluk Ibunya.

ìIbu, Ibu, Ibu,î terus mengalir dari mulut Malin. Namun tubuh itu terus membeku. Mengeras, semakin mengeras, tubuh itu terus membatu. Tak ada yang dapat menolong kutuk sumpah serapah, tak ada yang dapat menyelamatkan kecuali dirinya, namun semuanya sudah terlambat, semuanya sudah berjalan bagai jemari api yang meraba daun kering di ladang tebu.

Kini Ibu Malin sudah membeku, sudah mengeras menjadi batu karena kutuk sumpah serapah yang dilanggarnya, karena ia melalaikan janjinya pada kata-katanya sendiri. Mulai saat ini, di pinggir pantai ini, ada sebongkah batu yang murung yang selalu disembah seorang anak lelaki pincang setiap kepulangannya.

***

PAGI-PAGI, lelaki kurus kerempeng ini tiba di pantai, kakinya pincang, tubuhnya lunglai karena berhari-hari tidak tidur, berhari-hari terkapar di tengah lautan, menyeruak dari mulut lelaki itu ìIbu, sesungguhnya kampungku di kampungmuî, ia segera mencium kaki patung Ibunya yang mengganggang di pinggir pantai itu. Dan seolah-olah sebongkah batu yang berdiam di depan bukit pasir itu berkata pada Malin ìAnakku, jangan bosan-bosan nyambangi Ibu, sungguh kesepian tak tahan digemukkanî gerimis tiba-tiba turun dari kedua mata Malin, ia kembali mencium kaki Ibunya yang sudah menjadi batu.

Malin berbalik arah, menghadap laut luas, menatap bertemunya biru laut dan biru langit, kemudian ia berbalik lagi, menatap tubuh Ibunya dalam-dalam ìIbu, kaulah asal mula kehidupan, awal mula henyak nyawa yang kejam merajam, awal segala senyum tiramî berteriak keras-keras di pantai. Tangannya mengepal, kemudian lelaki itu telentang di pinggir, telentang di haribaan patung Ibunya itu.

"Aku ingin pulang padamu, Ibu! Aku ingin pulang."

Bermalam-malam dan berhari-hari Malin berdiam di dekat patung Ibunya, terik matahari tak terasa meski melukai tubuhnya, desir angin menggigil menikam detak jantungnya. Tak terasa. Rambutnya kusut pirang tak beraturan. Lupa. Ya, kerinduan pada Ibunya membuatnya gila. Ia tidak makan. Ia tidak minum. Ia duduk termenung. Murung. Ia ingin mati di tempat itu, sebab baginya kematian di haribaan Ibunya adalah inti kepulangan.

Dan sore itu, sebelum ajalnya pergi meninggalkan tubuhnya, hewan-hewan laut pada berdatangan padanya, mengirim kabar laut, bahkan ikan lumba-lumba mengajaknya pergi, ingin mengantarnya kemanapun ia akan pergi, namun Malin memilih tinggal bersama Ibunya "Tapi tolong sampaikan salamku pada perempuanku di pulau seberang," tukas Malin pada lumba-lumba itu "Inilah! Inilah suara sayatan yang amat keras itu, inilah cahaya yang selalu muncul di malam hari itu: cahaya Ibuî ikan lumba-lumba seolah mengangguk pertanda mengiyakan.

Malin menghenyakkan napasnya yang terakhir sore itu, bertepatan dengan masuknya matahari ke ufuk barat, ya, kini Malin Kundang telah pulang ke kampung kelahirannya.

Rabu, 07 November 2007

Mencari Kebahagiaan

Mencari kebahagiaan
Dalam hidup kadang kita merasa sedih dan duka, bahkan ada yang sampai putus asa ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi anehnya ketika apa yang kita inginkan terwujud, baru kita sadari bahwa yang kita inginkan itu akhirnya tidak selalu dapat membuat hidup kita bahagia. Mengapa???
Kebahagiaan manusia sangat relatip tidak ada batas ukurannya, tiada kebahagiaan didunia yang abadi, bisa jadi kondisi saat ini kita merasa berbahagia karena satu keinginan kita telah terpenuhi, lain waktu pada kondisi yang sama telah berubah menjadi tidak bahagia karena keinginan manusia berubah mengikuti tuntutan nafsu ingin mendapatkan keinginan kedua, kemudian disusul keinginan ketiga terus, terus dan terus tiada habisnya sebelum nafsu dikendalikan atau sampai mati. Satu kali makan daging ayam mungkin akan terasa enak dan nikmat, namun akan bosan dan tidak enak lagi bila dimakan setiap hari, begitupula dengan sejumlah materi dan harta benda tiada bedanya. Sebenarnya yang namanya kenikmatan itu sangat terbatas, nikmatnya rasa makanan hanya terbatas dari **cencored** makanan ke mulut melalui kerongkongan sampai perut kemudian kenyang, setelah kenyang makan rasanya sudah tidak enak lagi, bahkan terasa sakit. Nikmatnya syahwat hanya beberapa menit, lebih dari itu malah sakit rasanya. Justru karena sebentar itulah manusia cenderung untuk menikmati berulang-ulang menuruti keinginan hawa nafsunya.
Manusia yang sedang dimabuk nafsu memburu kenikmatan seasaat biasanya tidak dapat berpikir jernih, melakukan perbuatan jauh dari kebaikan dan akhirnya baru menyadari ketika ia memanen hasil perbuatanya sendiri dimasa lampau. Sebenarnya kita tau dan sadar betul bahwa dibalik kenikmatan yang sesaat itulah, terdapat jurang penderitaan yang berkepanjangan, apabila kita tidak hati-hati dalam menyikapi, kita akan kehilangan kewaspadaan dan terlena mengikuti keinginan nafsu, hasilnya berbagai macam penyakit bermunculan akibat pola makan yang tidak sehat, force power syndrome akibat kehilangan jabatan, stress karena tekanan ekonomi yang tak tersisa akibat mengikuti gaya hidup(hura-hura), atau malah berurusan dengan pihak berwajib akibat menyalah gunakan wewenang, semua itu karena mata hatinya telah tertutup oleh nafsu.
Seharusnya kita sadar dan waspada bahwa segala sesuatunya didunia ini tidak abadi, segalanya bergulir dan bergilir menurut aturan dan kehenak Tuhan Yang Maha Pencipta, ketika lahir kita tidak dibekali apa-apa, kemudian kita menjadi besar, nikah dan punya keturunan, kemudian menjadi tua dan akhirnya ketika matipun tidak membawa harta benda bahkan tidak mengajak sanak keluarga yang kita cintai, itulah kehidupan. Mobil dan rumah mewah, Istri yang cantik, keluarga yang kita cintai, dst.. semua adalah titipan belaka yang sewaktu-waktu akan diambil oleh PEMILIKNYA. Mengapa harus sedih dan berat hati ketika Harta benda yang kita cintai diambil olen PEMILIKNYA?? Apakah kita punya hak atas barang2 tersebut??? Benarkah itu Musibah ????. Semakin besar seseorang merasa memiliki dan memuji-muji harta benda, semakin besar rasa kesedihan akibat kehilangan benda tersebut, Semakin besar hasrat orang untuk mencapai keinginan, semakin dekat dengan kekecewaan. Do’a harian kita panjatkan kepada Tuhan agar diberikan Keselamatan, kesehatan, jodoh, rejeki yang banyak, dll, Usaha telah kita lakukan namun Tuhan lebih tahu segalanya, Tuhan mempunyai rencana yang paling baik untuk kita.
Mencari kebahagiaan dengan mengikuti hawa nafsu untuk mencapai keinginan, hasilnya NOL BESAR bahkan sangat berrisiko terjerumus pada perbuatan tercela, menghalalkan segala cara penuh berlumuran dengan dosa-dosa, dan kebahagian letaknya didalam hati, bukan di Bar, Hotel, atau ditempat-tempat lain, tidak harus dengan biaya mahal.
Kalau kita jujur, apa yang menimbulkan susah dan senang bahagia sebenarnya bukan dari luar diri manusia, melainkan dari dalam hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri, jika dirugikan kita merasa susah, jika diuntungkan kita senang. Susah dan senang hanyalah permainan gejolak perasaan kita.
“SUSAH MENIMBULKAN TANGIS DAN DUKA, SENANG MENIMBULKAN TAWA” Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus sedih dan menangis ketika kita tidak pada posisi diuntungkan?? Mengapa kita harus bersedih ketika sesuatu yang kita sayangi, kita cintai diambil oleh PEMILIKNYA??? Tidak selayaknya kita berburuk sangka, kini saatnya untuk introspeksi diri, siapa diri kita ini, apa yang telah kita lakukan. Sedih dan tangis hanya akan menimbulkan kelemahan batin, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain, mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi hidup, MENANGIS dan TERTAWA sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis? hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Orang bijak akan tahu bahwa yang terpenting dalam menjalani hidup ini adalah Menerima dengan ikhlas “NRIMO ING PANDUM” atas segala hal yang terjadi pada diri kita ini disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah KEHENDAK TUHAN YANG MAHA KUASA. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya kita akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."