SELAMAT DATANG SAHABAT

SELAMAT DATANG SAHABAT

Anda adalah pengunjung yang ke .....

Counter

video denmas

Jumat, 12 Oktober 2007

Betaljemur

Cerpen Gunawan Maryanto
Betaljemur

BETALJEMUR hampir-hampir tak percaya pada apa yang dibacanya. Dalam kitab itu tertulis bahwa Bektijamal, ayahnya, mati dibunuh oleh saudara angkatnya, Eklaswajir. Kemudian paragraf-paragraf selanjutnya menerangkan bagaimana jalannya peristiwa tersebut. Semuanya jelas terbaca. Eklaswajir tega membunuh Bektijamal karena ingin menguasai harta Karun yang ditemukan saudaranya itu sendirian. Sementara Bektijamal memilih untuk mengembalikan harta tersebut kepada anak-turun Karun. Benar-benar di luar dugaan. Eklaswajir yang selama ini begitu menyayangi adik angkatnya tiba-tiba menjadi gelap mata dan tega melakukan kekejian serupa itu. Sehabis membunuh, memang sedikit muncul rasa bersalah dalam dirinya. Tetapi begitu matanya kembali menatap gunungan emas permata yang berkilauan di depannya, perasaan tadi hilang begitu saja. Berganti ketamakan dan kerakusan yang begitu menakutkan. Bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi dirinya.

Karena takutnya Eklaswajir segera menguburkan jasad Bektijamal. Kemudian ia pulang ke rumah Bektijamal untuk menyampaikan pesan palsu kepada istrinya (yang tengah mengandung Betaljemur) bahwa Bektijamal tidak pulang dalam waktu dekat karena memutuskan untuk mengembara ke negeri-negeri yang jauh. Ia juga menitipkan Kitab Kadamakna yang semula dibawa oleh Bektijamal. Cepat-cepat ia meninggalkan rumah Bektijamal.

Kemudian ia mengumpulkan para budak untuk membangun dua gedung besar di depan gua tempat harta Karun tersimpan. Ia juga membangun tembok besar mengelilingi gua dan dua gedung besar itu. Hampir semua budak memendam pertanyaan yang sama, kenapa Eklaswajir, seorang anak patih kenamaan dari Medayin, membangun dua gedung besar jauh dari pusat kota. Setelah semuanya selesai Eklaswajir segera mengusir seluruh budak pekerjanya. Lalu ia mengangkut puluhan narapidana yang sudah divonis mati dan pada malam-malam yang gelap mereka diperintahkan untuk mengangkut keseluruhan harta Karun di dalam gua untuk dipindah ke dalam dua gedung besar yang baru saja selesai dibangun. Dan keesokan harinya, sebelum terbit matahari, Eklaswajir sendiri yang menjadi algojo mereka satu-persatu.

Sampai di halaman ini Betaljemur berhenti membaca. Hatinya berdebar tak karuan. Seluruh rahasia yang selama ini tersembunyi dari dirinya tiba-tiba terbuka dengan cara yang luar biasa. Akankah ia ceritakan semua ini kepada ibunya yang masih dengan sabar menantikan ayahnya pulang dari pengembaraan? Tidak sekarang. Begitu keputusannya. Nanti akan tiba waktunya ia mengabarkan kepada ibunya. Betaljemur juga memutuskan untk tidak membaca halaman-halamanan selanjutnya. Karena bagian selanjutnya adalah cerita perihal bagaimana Betaljemur membalas dendam kepada Eklaswajir. Ia memilih untuk tidak mengetahui bagaimana jalannya masa depan. Ia memilih untuk memasuki peristiwa, apa pun yang akan terjadi. Ia malah kembali ke halaman-halaman dari Kitab Kadamakna yang dipegangnya. Mempelajari berbagai ilmu yang tersurat dan tersirat di sana. Dengan tekun ia mempelajari seluruh tulisan tangan Lukmanakim, kakeknya yang memenuhi Kitab Kadamakna. Dalam waktu singkat ia telah menguasai semua pengetahuan dan kesaktian yang pernah dimiliki oleh kakeknya pada masa yang lalu. Tidak semuanya. Tepatnya seluruh ilmu yang tertulis dalam Kitab Kadamakna yang dipegangnya. Karena sebagaimana tersurat di sana, separuh kitab telah hilang direbut oleh Malaikat Jabarael yang tak ingin kepandaian manusia biasa bisa sejajar atau malah melebihi malaikat. Jadi bisa dikatakan, apa yang dikuasai oleh Betaljemur sekarang hanya separo dari sesuatu yang dimiliki oleh kakeknya, Lukmanakim yang agung. Contohnya, ia tak bisa membuat seorang tua kembali menjadi muda, sebagaimana kakeknya karena lembaran-lembaran yang berisi catatan tentang ilmu itu berada di tangan Malaikat Jabarael.

"IBU, kenapa baru sekarang-sekarang ini Ibu menyerahkan Kitab Kadamakna kepadaku?" tanya Betaljemur suatu kali ketika bertemu dengan ibunya.

"Begitulah yang selalu dipesankan ayahmu dulu. Jika usiamu telah menginjak dewasa, barulah kitab ini boleh diberikan kepadamu. Seandainya sekarang ayahmu ada di rumah, tentu dia sendiri yang akan menyerahkannya kepadamu. Ayahmu dulu juga mendapatkan kitab warisan kakekmu ini ketika dia seumuranmu sekarang."

"Apakah Ayah telah mempelajari seluruh isi kitab ini?" Betaljemur mencoba mengorek keterangan. Jika benar ayahnya telah menguasai seluruh ilmu dalam Kadamakna, tentu ia tak akan mudah diperdaya Eklaswajir.

"Tidak, Nak. Ayahmu sama sekali tak pernah membuka kitab ini. Aku tak tahu kenapa. Tapi ia pernah suatu kali bilang bahwa ia hanya ingin menjadi manusia biasa. Bukan orang sakti mandraguna dan memiliki pengetahuan seluas samudra sebagaimana kakekmu Lukmanakim. Justru pamanmu Eklaswajir yang pernah membacanya beberapa bagian."

Eklaswajir. Dada Betaljemur serasa akan meledak. Mendengar namanya saja seluruh tubuhnya telah bergetar oleh amarah.

"Kenapa, Nak? Ah, Ibu malah hampir lupa. Kita harusnya sesekali berkunjung ke rumah pamanmu itu. Paling tidak ibu berkewajiban mengenalkanmu kepadanya. Terakhir ia datang kemari ketika mengabarkan kepergian ayahmu. Ia juga yang menyerahkan Kitab Kadamakna titipan dari ayahmu ini."

"Di manakah rumah Paman Eklaswajir, Ibu?"

"Dia sekarang telah menjadi patih Medayin, menggantikan kakek angkatmu, Abujantir. Pamanmu tinggal di gedung besar yang dibangunnya di luar kota. Begitulah kabar yang kudengar. Entahlah kebenarannya. Ibu sebenarnya enggan bertemu dengannya. Takut mengganggunya. Sebagai patih kerajaan sebesar Medayin ini tentu ia memiliki kesibukan yang luar biasa. Buktinya ia sendiri tak pernah datang menengok kita di sini. Padahal dulu sebelum kamu lahir, sebentar-sebentar pamanmu itu datang berkunjung. Ia sudah seperti saudara kandung ayahmu saja."

Betaljemur bergidik, bulu-bulunya meremang, mendengar bagaimana ibunya memuji-muji kebaikan Eklaswajir. Rasa-rasanya ia ingin membuka seluruh kejahatan Eklaswajir saat itu juga. Agar ibunya berhenti menyebutnya sebagai paman. Agar ibunya juga bergidik dan meremang jika menyebut atau mendengar namanya. Tapi Betaljemur sebelum dan sesudah membaca Kitab Kadamakna adalah Betaljemur yang berbeda. Meski masih sama-sama berdarah panas, Betaljemur sekarang jauh lebih sabar, bijak dan berhati-hati dalam melakukan tindakan.

***

BETALJEMUR mulai menjalankan rencananya. Ia minta izin kepada ibunya untuk pergi ke kota barang satu dua hari. Jika ia tak pulang-pulang ibunya diminta menunggu dengan sabar, tak perlu mencari-carinya. Maka berangkatlah Betaljemur.

Tak sulit untuk menemukan gedung penyimpanan harta Karun milik Eklaswajir. Gedung itu kelihatan mencolok di tengah padang pasir gersang yang kosong tanpa tumbuhan atau bangunan secuil pun. Betaljemur tak silap lagi. Itulah bangunan yang dicarinya. Ia seperti sudah begitu mengenalnya. Apa yang digambarkan oleh Kitab Kadamakna tak meleset satu detail pun. Semuanya sama. Warna dan bentuk bangunannya. Tak ada yang meleset. Bahkan sudut jatuhnya cahaya yang mencipta bayangan kedua gedung itu. Betaljemur mendekati pintu gerbangnya. Mengetuknya dengan sopan. Seorang lelaki tua membuka pintu dan menanyakan maksud kedatangannya. Betaljemur mengaku sebagai musafir yang ingin berteduh barang sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Lelaki tua penjaga gedung itu mempersilakan Betaljemur masuk.

"Anakmas bisa beristirahat sejenak di taman. Mungkin akan sangat menyegarkan."

Betaljemur diajak menuju ke taman di samping gedung penyimpanan harta. Sebuah taman rumput dengan mata air di tengahnya. Tak ada bunga atau tumbuhan besar. Hanya ada beberapa batu dengan beraneka ukuran disusun membentuk sebuah imaji yang tak terang tapi terasa begitu menenangkan. Betaljemur duduk di sebuah batu. Menikmati jernihnya kolam kecil yang mengelilingi mata air itu.

"Saya melanjutkan pekerjaan saya, Anakmas."

Pelan-pelan Betaljemur merebah dirinya di batu itu. Menikmati sejuknya angin yang terasa begitu lain dengan yang barusan ditemuinya di luar sana. Ia juga menikmati sepasang mata yang memperhatikannya tanpa berkedip dari salah satu jendela gedung.

"Hai, akan kau bawa kemana tiga ekor kambing itu, Pak?" tanya Betaljemur kepada lelaki tua yang melintas dengan menuntun seekor kambing. Bapak tua itu menghentikan langkahnya dan menatap Betaljemur dengan penuh keheranan.

"Nak, apa kau tak salah lihat? Aku hanya menuntun seekor kambing."

"Kambing itu sedang hamil, Pak Tua. Ada dua ekor anak kambing di dalam perutnya. Satu anak panjang sebelah kakinya. Yang lain belang punggungnya."

"Ah, Anakmas ini bercanda."

"Boleh kubuktikan, Anak Muda?" Seorang lelaki lain datang bergabung.

Dialah Eklaswajir. Betaljemur menatap lelaki setengah baya yang baru saja datang itu.

"Silakan, Gusti Patih," tantang Betaljemur.

Eklaswajir diam-diam mengagumi keberanian anak muda itu.

Pak Tua diminta untuk menyembelih kambing itu. Lalu Eklaswajir buru-buru menyobek perut si kambing dengan ujung pedangnya. Benar. Di dalam rahim kambing itu meringkuk dua ekor bayi kambing. Yang satu panjang sebelah kakinya. Yang lain belang punggungnya.

"Siapa namamu, Anak Muda?"

"Saya Betaljemur. Ayah saya Bektijamal," sahut Betaljemur dengan tenang. Eklaswajir bergetar. Hal yang selama ini ditakutkannya akan segera terjadi. Seluruh kebusukannya akan segera terbongkar. Tenang. Kata Eklaswajir menenangkan dirinya. Tak seorang pun tahu peristiwa pembunuhan itu selain dirinya dan tentu saja Bektijamal. Betaljemur tentu tak tahu apa-apa. Atau jika seandainya saja Betaljemur tahu, dengan mudah ia akan menyingkirkannya. Perkara selesai.

Eklaswajir tak mau mengambil risiko. Ia mengasumsikan Betaljemur telah mengetahui peristiwa pembunuhan ayahnya. Maka ia meminta seorang algojo untuk membawa Betaljemur ke sebuah tempat dan membunuhnya di sana.

"Anak Muda, aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu. pelayanku akan mengantarkanmu ke sana. Anggap saja hadiah atas kewaskitaanmu dalam menebak isi perut kambingku."

Algojo itu menggandeng tangan Betaljemur dan meninggalkan gedung. Menuju ke sebuah tempat. Betaljemur diajak berjalan dan terus berjalan. Ketika sudah makan waktu beberapa saat, Betaljemur berhenti.

"Kenapa tidak di sini saja, Paman? Bukankah Paman diminta membunuhku. Kenapa harus berjalan jauh-jauh. Di tempat sesepi ini tak kan seorang pun tahu."

Algojo itu menjadi pucat. Ia tahu tengah berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kelebihan yang tak dimiliki lumrahnya manusia. Lalalu algojo itu mengaku bahwa ia belum pernah sekali pun membunuh. Tiap hari ia berdoa agar tak pernah diperintahkan untuk membunuh. Semua itu hanya karena sulitnya mencari pekerjaan.

"Paman dari Ngabesi, bukan? Dan paman mengabdi pada Eklaswajir karena paman jatuh cinta pada puteri sulung Eklaswajir. Benar, bukan?"

Sang algojo semakin yakin bahwa ia berhadapan dengan manusia setengah malaikat.

"Eklaswajir telah menyuruh paman membunuh saya. Jika paman tak melakukannya, maka pamanlah yang akan dibunuh olehnya. Bukankah begitu logikanya?"

Algojo mengangguk.

"Jika paman tak mau membunuhku dan tak mau dibunuh oleh Eklaswajir, sekarang pergilah paman ke pasar paling dekat. Jika ada seseorang menuntun seekor kambing dari timur, belilah kambing itu tanpa paman tawar harganya. Lalu sembelihlah. Ambillah hatinya. Hanya itu yang kita butuhkan. Kambing itu sebenarnya adalah kambing kesayangan keluarga miskin itu. Dulu dibesarkan dan disusui sendiri oleh pemiliknya."

Lelaki dari Ngabesi itu segera berangkat ke pasar terdekat. Begitu sampai, tanpa harus menunggu terlalu lama, seorang ibu tua melintas menuntun seekor kambing dari arah timur. Algojo itu segera mencegatnya lalu membeli kambing itu tanpa ditawar-tawar lagi.

"Ooo... Terima kasih banyak, Ki Sanak. Sebenarnya kami tak ingin menjual kambing kesayangan kami ini. Tapi mau apalagi. Persediaan makanan kami semakin tipis. Maka terpaksa kami jual satu-satunya yang kami miliki ini. Dulu kambing ini saya susui sendiri karena begitu dia dilahirkan induknya hilang dicuri orang."

Algojo dari Ngabesi semakin kagum dengan kesaktian Betaljemur. Semuanya begitu tepat. Tak ada yang kelewat. Setelah membayar harga kambing algojo langsung menyembelih kambing itu dan mengambil hatinya.

"Ibu, saya hanya membutuhkan hatinya saja, bawalah kembali daging kambing ini."

Oleh Betaljemur algojo diminta kembali ke tempat Eklaswajir dan menyerah hati kambing itu kepada tuannya itu. Katakah saja itu adalah hati Betaljemur. Eklaswajir tak akan curiga karena hati kambing yang sejak kecil disusui manusia itu mirip benar dengan hati manusia.

Eklaswajir nampak gembira menerima hati Betaljemur yang dibawa oleh algojonya. Ia segera memerintahkan koki untuk memasaknya menjadi gulai. Segera setelah matang, ia memakannya tanpa sisa. Ketakutannya telah pergi.

***

SEMENTARA itu di Istana Medayin, Baginda Kobatsah sedang marah-marah. Ia merasa bermimpi tapi begitu bangun dari tidur ia sama sekali tak bisa mengingat mimpi itu sedikit pun. Hal ini berulang selama seminggu. Mimpi yang menurutnya sama persis. Ia yakin ada suatu pesan yang tengah disampaikan dalam mimpi itu. Maka ia berkeras untuk menemukan mimpinya yang hilang. Tapi tak seorang pun nujum istana dapat menemukannya. Juga seluruh peramal yang tersebar di seluruh Medayin. Semuanya gagal.

Patih Eklaswajir diminta menghadap.

"Eklaswajir, kau sudah tahu apa yang kuinginkan. Carilah orang yang mampu menemukan mimpiku yang hilang itu. Waktumu hanya sampai besok sore."

Eklaswajir mengiyakan. Karena ingin mendapat pujian ia menjawab.

"Baik, Yang Mulia. Jika sampai besok sore hamba tak mampu menemukan orang pintar itu, penggallah kepala hamba."

"Kupegang janjimu, Eklaswajir. Segera temukanlah orang itu."

Eklaswajir seperti tersadar dari mimpinya. Ia menyesal telah mengucapkan janji itu. Tapi sudah telanjur.

Di rumah ia gelisah. Ia segera menyesali keputusannya membunuh Betaljemur. Jika anak muda itu masih hidup sekarang tentu ia tak akan bersusah payah menemukan orang yang bisa membaca mimpi Baginda Kobatsah. Kegelisahan ini terbaca oleh algojo dari Ngabesi.

"Apakah ada yang bisa saya kerjakan, Tuan Eklaswajir?"

"Tidak ada. Besok aku akan mati menerima pidana dari Baginda. Jagalah seluruh keluargaku dengan sebaik-baiknya," jawab Eklaswajir dengan putus asa.

"Apakah tidak ada yang bisa dilakukan?"

"Satu-satunya orang yang bisa menolongku adalah orang yang baru saja kau bunuh tadi siang."

Algojo itu benar-benar merasa kasihan melihat kegundahan Eklaswajir. Ia ingin sekali bisa menolongnya.

"Tuan, mungkin saya bisa menolong. Tapi mohon ampunilah seluruh kesalahan saya," Eklaswajir menganggukkan kepala.

Algojo lalu menceritakan peristiwa sebenarnya, bahwa ia urung memancung kepala Betaljemur. Kelegaan menguasai diri Eklaswajir. Ia segera memerintah si algojo mencari Betaljemur dan membawanya kembali.

"Jemputlah ia dengan tandu kebesaran kepatihan. Payungilah ia dengan songsong pusaka Kepatihan Medayin."

Betaljemur kembali lagi menemui Eklaswajir. Tapi dasar Eklaswajir, ia malah memasukkan Betaljemur ke dalam penjara. Si algojo merasa bersalah. Tapi buru-buru menenangkannya.

"Tak apa, Orang Ngabesi. Betaljemur tak akan mati. Dan keinginanmu meminang puteri Eklaswajir akan segera terpenuhi."

Si algojo gembira bukan kepalang. Dengan ringan ia menggandeng Betaljemur ke penjara.

Dalam penjara Eklaswajir memaksa Betaljemur membaca mimpi Baginda Kobatsah. Tapi Betaljemur tak mau melakukanya. Mau tapi dengan syarat ia harus bertemu langsung dengan Kobatsah. Tentu saja Eklaswajir menolaknya. Ia tak mau seluruh kebusukannya pada masa lalu dibongkar Betaljemur di hadapan rajanya. Maka disiksalah Betaljemur dengan berbagai cara. Tapi Betaljemur tetap bungkam. Tubuhnya mampu menahan sakit sekeras apa pun. Eklaswajir kembali putus asa.

Sore yang dijanjikan telah tiba. Eklaswajir mengakui kegagalannya menemukan orang yang bisa membaca mimpi Baginda Kobatsah. Pidana pun segera dijatuhkan. Menjelang eksekusi, Eklaswajir berubah pikiran.

"Baginda, saya telah menemukan orang itu. Dia ada di penjara kepatihan."

Kobatsah tak habis pikir. Tapi ia segera memerintahkan prajuritnya untuk mengambil Betaljemur di penjara kepatihan. Tapi Betaljemur tak mau, kecuali dengan syarat, Eklaswajir mau menjadi kuda tunggangannya dari kepatihan menuju istana.

Eklaswajir tak bisa apa-apa. Baginda sendiri yang mengikatkan tali kekang di hidung dan mulutnya. Juga menaruh pelana di punggungnya. Maka terjadilah peristiwa yang menggemparkan Medayin. Betaljemur menaiki punggung Patih Eklaswajir laiknya menunggangi seekor kuda. Rakyat Medayin memenuhi jalan-jalan yang dilewati kuda istimewa itu. Tiap kali kuda itu berhenti karena kelelahan, Betaljemur mencambuknya dengan keras. Rakyat bersorak-sorai. Kebencian yang selama ini dipendam dalam-dalam terhadap kepeminpinan Eklaswajir mendapatkan katup pelepasnya. Mereka berteriak mengejek dan menuntut Eklaswajir atas dosa-dosa masa lalunya.

"Kembalikan suamiku yang hilang dalam pembangunan gedungmu!"

"Kembalikan uang kami yang kau tarik dengan paksa!"

Kobatsah menatap arak-arakan itu dari kejauhan. Dilihatnya seorang pemuda yang entah kenapa begitu menggetarkan perasaannya. Siapakah dia? Masa depan Medayin seperti berada dalam genggamannya.

Jogjakarta, Agustus 2007

Catatan: Kisah ini berangkat dari Serat Menak karya R Ng Yasadipura yang digubah dari Serat Menak Kartasura yang ditulis Carik Narawita dari khazanah sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah yang diturunkan dari Qissa il Emir Hamza, wiracarita dari Parsi

Tidak ada komentar: