SELAMAT DATANG SAHABAT

SELAMAT DATANG SAHABAT

Anda adalah pengunjung yang ke .....

Counter

video denmas

Minggu, 28 Oktober 2007

Perselingkuhan karena Problem Pribadi di Masa Lalu


Perselingkuhan karena Problem Pribadi di Masa Lalu

Perselingkuhan yang terjadi antara suami istri sebenarnya tidak lepas dari urusan pribadi masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang punya karakter dan kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain sebagai hasil bentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan dan juga unsur genetika (keturunan).
Banyak dari kita yang belum menyadari, bahwa ternyata diri kita sendiri sebenarnya merupakan pangkal dari semua masalah akibat ketidakmatangan emosi dan ketidakharmonisan (konflik) yang sedang terjadi dalam hidup kita secara pribadi. Sayangnya, kedua hal tersebut sering belum selesai bahkan sampai memasuki dunia perkawinan. Memang di awal perkawinan semua tampak manis dan harmonis karena keduanya masih berusaha menampilkan diri sebaik-baiknya. Namun lama kelamaan, ibarat orang menggunakan topeng terus-menerus sehingga akhirnya kecapaian sendiri, maka sama saja halnya dengan kehidupan suami istri. Lama-lama kita akhirnya harus berhadapan tidak saja dengan realita tentang pasangan, tetapi juga realita diri sendiri. Kita tidak bisa berlama-lama sembunyi di balik kepalsuan karena hal itu sangat menguras energi. Lama- kelamaan, keluarlah keaslian diri kita yang tercermin dalam sikap, perilaku dan pola pikir yang termanifestasi setiap hari, seperti dalam memandang dan menyelesaikan persoalan, mengambil keputusan, mempersepsi suatu keadaan, nilai dan prinsip yang dimilikinya, mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi tekanan, dalam berinteraksi dengan pasangan dan orang lain, pola asuhnya terhadap keturunannya sendiri, proses penyesuaian diri, kesehatan mental, masalah kejiwaan yang muncul di kemudian hari, bahkan mempengaruhi pemilihan terhadap pasangan hidup.
Jadi, sebenarnya jangankan mengurus diri orang lain, mengurus diri sendiri itu lah yang paling sulit karena berhadapan dengan diri sendiri adalah situasi yang sama sekali tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang. Lama-kelamaan, diri kita yang asli mulai menuntut pasangan kita untuk memenuhi kebutuhan kita dan memperlakukan kita seperti yang kita inginkan. Kalau kita pelajari secara mendalam, mungkin kita akan temukan adanya benang merah antara bagaimana orang tua kita dahulu memperlakukan kita dan memenuhi kebutuhan (emosional dan fisiologis) kita dengan tuntutan kita terhadap pasangan. Ketidakmatangan emosi yang mungkin masih menjadi bagian dari diri kita pada dasarnya merupakan akibat dari proses perkembangan psikologis selama masa pertumbuhan; dan hal itu juga diwarnai oleh pola asuh orang tua, terutama pada masa-masa awal kehidupan seseorang.
Ambil saja contohnya, jika sejak kecil seorang anak tidak memperoleh kasih sayang dan tidak mendapat pemenuhan kebutuhan terutama kebutuhan emosional, maka dalam perkembangan selanjutnya (jika selama proses kehidupan selanjutnya situasi ini konstan dan tidak ada perubahan yang positif), ia juga akan tumbuh menjadi orang yang sulit untuk menunjukkan afeksi, kasih sayang dan perhatian pada orang lain; bahkan bisa saja muncul elemen ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain karena waktu masih kecil, tidak ada satu orang pun yang bisa ia percayai (bahkan kedua orang tuanya) yang secara konstan hadir baginya dan mampu memberikan kasih sayang serta perhatian secara konstan. Jadi, kelak pada saat ia mencari pasangan, dalam alam bawah sadarnya tindakan ini dilandasi oleh keinginan dan kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Agar ia dapat memastikan bahwa pasangannya itu selalu ada setiap saat ia membutuhkan (tidak seperti orang tuanya dahulu), maka biasanya akan muncul kemudian sikap-sikap seperti kecemburuan yang berlebihan, terlalu membatasi kegiatan pasangan, kecurigaan dan kekhawatiran berlebihan terhadap kesetiaan pasangan, keinginan untuk selalu diprioritaskan dalam setiap perkara dan tuntutan untuk selalu diperhatikan dan dipenuhi keinginannya. Jika sang pasangan punya sikap dan tindakan yang di luar keinginannya, ia kemudian merasa dikhianati, diacuhkan, merasa tidak diperhatikan, merasa dirinya tidak penting lagi, merasa dirinya tidak lagi dicintai, merasa pasangan sudah tidak menaruh hormat lagi padanya, merasa diri sudah tidak lagi menarik bagi pasangan, bahkan merasa dirinya hendak disingkirkan secara perlahan-lahan. Pikiran-pikiran negatif tersebut akhirnya berputar-putar dalam benaknya sehingga secara tidak sadar ia jadi terlalu sensitif dalam menanggapi kejadian yang sebenarnya masih normal dan wajar. Misalnya, ketika suami harus pergi ke acara sendirian (karena sifatnya yang formal), istrinya kemudian berpikir dirinya sengaja tidak diajak karena suaminya ingin mengajak wanita lain, atau merasa suaminya malu membawa dirinya yang dirasa sudah tidak menarik lagi, atau karena tingkat pendidikannya tidak sebanding dengan suami atau rekan kerjanya sehingga takut obrolannya tidak nyambung.
Karena sering terjadi hal-hal demikian, maka dapat dipastikan akan timbul kejengkelan dan salah paham yang tidak ada ujung pangkalnya karena masing-masing bersikukuh pada pendapat dan keyakinannya sendiri. Akibatnya, pihak yang tadinya tidak punya maksud apa-apa, jadi kesal, marah dan merasa lelah akan sikap pasangannya. Lantas, yang tadinya memang pulang larut malam karena tuntutan pekerjaan, akhirnya sering pulang malam mencari hiburan untuk melepaskan diri dari stress di rumah. Dan karena setiap orang pada suatu saat perlu seseorang yang dapat menjadi curahan emosi, terbukalah jalan baginya untuk mencari substitusi dari pasangan yang sudah tidak bisa lagi menjadi teman bicara yang enak. Kalau ternyata ada seseorang yang mampu memberikan perhatian dan pengertian yang selama ini tidak ditemukan dalam diri pasangannya yang kerjanya di rumah hanya marah-marah, maka terbukalah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang melibatkan faktor emosi, Jika sudah demikian, terjadilah perselingkuhan yang selama ini ditakuti atau pun menjadi bahan kecurigaan istri. Hal ini lah yang diistilahkan dalam psikologi sebagai self-fulfilling prophecy.

Pola Yang Berulang

Tanpa sadar, ada sebagian dari diri kita yang juga ada pada diri kedua orang tua kita dan akhirnya mewarnai hubungan kita baik dengan istri atau suami dan dengan anak-anak. Coba saja kita bayangkan. Apakah cara kita mengasuh anak-anak ada kemiripan dengan cara kita dahulu diasuh dan dididik oleh ayah dan ibu kita ? Atau apakah cara kita berkomunikasi atau berinteraksi dengan istri/suami hampir sama atau ada hal-hal yang sama dengan cara orang tua kita dahulu berinteraksi satu sama lain ? Yang lebih ekstrim lagi, kita coba memperhatikan, apakah sikap dan perilaku anak kita ada kemiripan dengan sikap dan perilaku kita dahulu (coba saja tanya pada orang tua kita) ?
Dari situ kita bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dialami oleh diri kita dan perkawinan kita saat ini, bukanlah merupakan kasus tunggal yang terjadi begitu saja. Semua itu ada hubungan sebab akibatnya dengan masa lampau. Jadi, semua problem psikologis, termasuk ketidakmatangan emosional maupun konflik-konflik dalam diri sendiri pada dasarnya punya akar di masa lalu. Kita memang tidak boleh begitu saja menyalahkan kedua orang tua kita yang sudah susah payah mendidik dan membesarkan kita dengan tulus hati, karena bagaimana pun juga hal itu bukanlah kesalahan mereka sepenuhnya, dan lagi mereka juga tidak melakukannya dengan kesadaran karena pola yang mereka terapkan pada diri kita, juga mereka terima dari kedua orang tua mereka di masa lalu.
Selama kedua pihak masih bisa berpikir jernih, dan mau memeriksa diri, maka kemungkinan besar masih bisa mengendalikan diri untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan baik itu yang terpendam maupun secara terbuka. Namun, jika salah satu pihak atau bahkan keduanya sudah menutup diri terhadap penyelesaian masalah karena merasa diri yang paling benar dan pasangan kita yang salah, maka hal itu tidak hanya akan mengakibatkan memburuknya hubungan perkawinan, namun bahkan yang lebih serius, tidak membuat masing-masing bertumbuh dalam pribadi yang lebih dewasa dan matang setelah mampu menerima dan kemudian mengolah elemen-elemen negatif diri sendiri untuk kemudian mentransformasikannya menjadi sesuatu yang positif bagi pertumbuhan jiwa yang sehat. Kegagalan untuk mempertumbuhkan diri sendiri inilah yang akhirnya akan membawa pada kegagalan selanjutnya meskipun misalnya orang tersebut menikah lagi. Oleh karena itu, sering kita mendengar ada orang-orang yang berulang kali kawin-cerai dan selalu karena masalah yang kurang lebih sama sifatnya. Masalah itu bukan hanya terletak pada orang lain, tapi justru kemungkinan besar terletak pada diri sendiri yang tampaknya sudah waktunya untuk menjalani transformasi.

Tidak ada komentar: